Why
Peacekeeping Failed?
Editor: Arif
Rudi S
Gagalnya pasukan perdamaian mengatasi konflik di suatu
negara dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
yang mempengaruhi kegagalan pasukan perdamaian antara lain adalah: persediaan
senjata yang tidak memadai, pelatihan yang buruk, dan kurangnya kedisiplinan
pasukan. Perlunya peningkatan faktor-faktor tersebut di atas, harus didukung penyediaan
dana yang cukup, dengan operasi yang besar dan kompleksitas yang tinggi. Selain
itu kegagalan yang terjadi dapat diakibatkan karena pasukan perdamaian
mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan pribumi serta karena
ketidakjelasan dalam pembagian tugas dan pemahaman tugas dalam melakukan
operasi perdamaian.
Faktor internal yang memengaruhi kegagalan pasukan perdamaian
antara lain: hubungan yang kurang baik antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) negara konflik. Hubungan yang kurang baik tersebut
disebabkan karena perbedaan tujuan atau penyelesaian antar keduanya. Keterlibatan
negara lain untuk menyelesaikan konflik suatu negara juga memengaruhi jalannya
penyelesaian konflik karena kemungkinan ada tujuan terselubung yang menyebabkan
ketidakpercayaan negara konflik untuk menerima bantuan dari negara lain.
Why is cross-cultural competencies
required in peacekeeping operation?
Budaya yang hidup di suatu daerah merupakan suatu sistem
yang meliputi tata kehidupan dan nilai, termasuk nilai yang dianut agar tetap
terjaganya perdamaian. Kurangnya kompetensi pemahaman antarbudaya akan
menghambat pencapaian tujuan perdamaian di negara konflik. Hal itu disebabkan karena
solusi yang diberikan oleh PBB kepada Pasukan Perdamaian bertentangan dengan
budaya di negara konflik. Pertentangan tersebut dapat menimbulkan kesulitan
bagi pasukan perdamaian untuk meraih simpati masyarakat di negara konflik dan menimbulkan
kesulitan bagi masyarakat di negara konflik untuk berinteraksi dengan pasukan
perdamaian PBB.
Kemampuan memahami budaya di negara konflik sangat
dibutuhkan karena PBB tidak dapat berkerja sendiri. Mereka membutuhkan pihak
lain untuk terlibat menjaga perdamaian, karena ketika pasukan PBB telah mampu
mengetahui kebudayaan daerah konflik, proses untuk mencapai perdamaian dapat berjalan
dengan baik tanpa kekerasan. Pengetahuan terhadap budaya setempat juga dapat
digunakan untuk menganalisis tentang konflik yang terjadi di wilayah tersebut,
khususnya konflik horizontal. Untuk menjaga perdamaian secara horizontal
dilakukan dengan cara turun langsung ke masyarakat untuk memahami permasalahan
yang terjadi dengan pendekatan kepada masyarakatnya yang dilakukan oleh penjaga
perdamaian yang sudah mempelajari dan memahami kebudayaan di daerah tersebut.
What is the role of emotion in
conflict resolution?
Emosi memiliki peran sentral dalam penyelesaian konflik. Pihak
yang sedang berkonflik cenderung memiliki emosi yang labil. Ketika individu
sangat marah, maka kemampuan individu tersebut dalam mengevaluasi konsekuensi
dari tindakannya akan menurun (Baron & Byrne, 2005). Lieberman dan
Greenberg (1999) menjelaskan bahwa ketika emosi sedang terangsang, maka akan
menyebabkan individu memroses informasi secara cepat dan gegabah atau defisit
kognitif (Baron & Byrne, 2005). Apabila terjadi defisit kognitif dalam
menyelesaikan konflik, maka kemungkinan kecil untuk mendapatkan solusi, karena ketidaktepatan
dalam menganalisis eskalasi konflik.
Pihak atau aktor yang mengalami konflik menunjukkan emosi
negatif (marah, sedih, depresi), cenderung memusatkan perhatian pada individu
lain yang terlibat konflik, bukan pada masalah dan solusinya. Emosi negatif
yang kuat dapat mengganggu langkah penyelesaian konflik. Maka dari itu,
perlunya mengenal sinyal emosi agar dapat membantu kelompok untuk memahami
konflik dan kepentingannya. Emosi juga memiliki peran positif untuk
mendengarkan permasalahan apa yang terjadi.
Dalam menyelesaikan konflik antar kelompok, maka suatu
kelompok harus memiliki saling rasa percaya terhadap kelompok lainnya. Selain
itu, antar kelompok harus dapat mengontrol sikap, memahami perasaan, mengakui
keberadaan, dan mengarahkan sikap tanggung-jawab untuk menyelesaikan konflik.
Sumber:
Tugas 1 Socio-Cultural
Competence & Resilience. Kelompok 1, Prodi: PCR, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar