Sabtu, 01 Februari 2020

Why Peacekeeping Failed?


Why Peacekeeping Failed?
Editor: Arif Rudi S

Gagalnya pasukan perdamaian mengatasi konflik di suatu negara dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kegagalan pasukan perdamaian antara lain adalah: persediaan senjata yang tidak memadai, pelatihan yang buruk, dan kurangnya kedisiplinan pasukan. Perlunya peningkatan faktor-faktor tersebut di atas, harus didukung penyediaan dana yang cukup, dengan operasi yang besar dan kompleksitas yang tinggi. Selain itu kegagalan yang terjadi dapat diakibatkan karena pasukan perdamaian mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan pribumi serta karena ketidakjelasan dalam pembagian tugas dan pemahaman tugas dalam melakukan operasi perdamaian.

Faktor internal yang memengaruhi kegagalan pasukan perdamaian antara lain: hubungan yang kurang baik antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) negara konflik. Hubungan yang kurang baik tersebut disebabkan karena perbedaan tujuan atau penyelesaian antar keduanya. Keterlibatan negara lain untuk menyelesaikan konflik suatu negara juga memengaruhi jalannya penyelesaian konflik karena kemungkinan ada tujuan terselubung yang menyebabkan ketidakpercayaan negara konflik untuk menerima bantuan dari negara lain.

Why is cross-cultural competencies required in peacekeeping operation?
Budaya yang hidup di suatu daerah merupakan suatu sistem yang meliputi tata kehidupan dan nilai, termasuk nilai yang dianut agar tetap terjaganya perdamaian. Kurangnya kompetensi pemahaman antarbudaya akan menghambat pencapaian tujuan perdamaian di negara konflik. Hal itu disebabkan karena solusi yang diberikan oleh PBB kepada Pasukan Perdamaian bertentangan dengan budaya di negara konflik. Pertentangan tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi pasukan perdamaian untuk meraih simpati masyarakat di negara konflik dan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat di negara konflik untuk berinteraksi dengan pasukan perdamaian PBB.

Kemampuan memahami budaya di negara konflik sangat dibutuhkan karena PBB tidak dapat berkerja sendiri. Mereka membutuhkan pihak lain untuk terlibat menjaga perdamaian, karena ketika pasukan PBB telah mampu mengetahui kebudayaan daerah konflik, proses untuk mencapai perdamaian dapat berjalan dengan baik tanpa kekerasan. Pengetahuan terhadap budaya setempat juga dapat digunakan untuk menganalisis tentang konflik yang terjadi di wilayah tersebut, khususnya konflik horizontal. Untuk menjaga perdamaian secara horizontal dilakukan dengan cara turun langsung ke masyarakat untuk memahami permasalahan yang terjadi dengan pendekatan kepada masyarakatnya yang dilakukan oleh penjaga perdamaian yang sudah mempelajari dan memahami kebudayaan di daerah tersebut.

What is the role of emotion in conflict resolution?
Emosi memiliki peran sentral dalam penyelesaian konflik. Pihak yang sedang berkonflik cenderung memiliki emosi yang labil. Ketika individu sangat marah, maka kemampuan individu tersebut dalam mengevaluasi konsekuensi dari tindakannya akan menurun (Baron & Byrne, 2005). Lieberman dan Greenberg (1999) menjelaskan bahwa ketika emosi sedang terangsang, maka akan menyebabkan individu memroses informasi secara cepat dan gegabah atau defisit kognitif (Baron & Byrne, 2005). Apabila terjadi defisit kognitif dalam menyelesaikan konflik, maka kemungkinan kecil untuk mendapatkan solusi, karena ketidaktepatan dalam menganalisis eskalasi konflik.

Pihak atau aktor yang mengalami konflik menunjukkan emosi negatif (marah, sedih, depresi), cenderung memusatkan perhatian pada individu lain yang terlibat konflik, bukan pada masalah dan solusinya. Emosi negatif yang kuat dapat mengganggu langkah penyelesaian konflik. Maka dari itu, perlunya mengenal sinyal emosi agar dapat membantu kelompok untuk memahami konflik dan kepentingannya. Emosi juga memiliki peran positif untuk mendengarkan permasalahan apa yang terjadi.

Dalam menyelesaikan konflik antar kelompok, maka suatu kelompok harus memiliki saling rasa percaya terhadap kelompok lainnya. Selain itu, antar kelompok harus dapat mengontrol sikap, memahami perasaan, mengakui keberadaan, dan mengarahkan sikap tanggung-jawab untuk menyelesaikan konflik.

Sumber:
Tugas 1 Socio-Cultural Competence & Resilience. Kelompok 1, Prodi: PCR, 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...