Dinamika Kecerdasan Budaya
Editor: Arif Rudi
S
Pertanyaan:
Bangsa Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang sopan santun dan memiliki budaya yang beragam. Lalu
mengapa kita melihat di TV dalam satu talk
show, ada seorang profesor alumni dari universitas di Amerika yang terkenal
sangat sulit untuk diterima dan lulus, secara terbuka berbicara tentang
suku/agama lain seolah-olah sebagai musuh dan kemudian memaki-maki orang dari
suku/agama tersebut secara live
(siaran langsung), sehingga ditegur oleh pewawancaranya? Jelaskan melalui teori
kecerdasan yang anda ketahui. Apakah ada kompetensi yang kurang pada diri
profesor ini? Jika ya, bagaimana cara merubah atau mengembangkan perilaku
profesor ini agar lebih baik di masa depan?
Jawaban:
Kompetensi yang
kurang dari profesor yang memiliki Intelectual
Quotient (IQ) tinggi yang dibuktikan dari statusnya sebagai alumni dari
universitas di Amerika tersebut adalah ia memiliki Emotional Intelligence (EI),
Cultural Quotient (CQ) rendah sehingga ia memiliki Social Intelligence (SI) yang rendah pula. IQ adalah ukuran tingkat
kecerdasan seseorang yang dapat menunjukkan seseorang dapat berhasil dalam
prestasi akademik, EI merupakan kemampuan kecerdasan memanfaatkan informasi
emosional sedangkan CQ adalah kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam
berbagai budaya. Menurut Crowne antara SI, EI dan CQ saling berhubungan. SI
merupakan kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas interpersonal dan bertindak
secara bijaksana dalam berhubungan atau kemampuan seseorang untuk memahami dan
mengelola orang lain. Sedangkan EI adalah kemampuan untuk mengenali dan
memahami emosi tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain serta
kemampuan untuk secara efektif menggunakan informasi emosional dalam proses berpikir
dan tindakan yang tepat sehingga EI merupakan bagian dari SI dengan fokus pada aspek emosional. CQ adalah
kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya sehingga ia
merupakan bagian dari SI (varian dari SI) namun khusus untuk konteks budaya
atau lintas budaya yang artinya bahwa semua aspek CQ juga bisa dianggap sebagai
keterampilan SI. Jadi tidak semua interaksi sosial memerlukan keterampilan EI
dan keterampilan CQ tetapi EI dan CQ adalah keterampilan-keterampilan yang
membuat seseorang cerdas secara sosial (SI). Profesor alumnus dari Amerika
serikat tersebut ber-IQ tinggi akan tetapi memiliki EI dan CQ yang rendah
ditunjukkan dengan memusuhi suku/agama lain dan memaki-maki orang dari suku/agama
lain itu di depan televisi saat siaran langsung sehingga mengakibatkan ia sulit
berempati dan melakukan berinteraksi sosial sesuai dengan norma-norma yang
dijunjung tinggi masyarakat Indonesia karena rendahnya SI Profesor tersebut.
Kecerdasan
Emosi (EQ) merupakan faktor yang harus ditingkatkan oleh Profesor tersebut. Orang yang memiliki EQ tinggi, akan
menyadari kondisi emosinya serta mampu mengelola emosinya. Ia akan mampu
beradaptasi dengan dunia luar. Selain itu ia juga akan dapat memelihara
keseimbangan diri pada saat menghadapi masalah (resilien/tangguh). Saat berinteraksi dengan orang lain, orang
yang EQ nya tinggi, akan memiliki kesadaran tentang kondisi dirinya dan orang
lain, termasuk berempati pada orang lain, pada saat orang lain tersebut berada pada kondisi
emosional yang negatif. Hal ini tentunya akan menjadi modal dasar baginya untuk
mengembangkan Kecerdasan Sosial (SQ) nya, karena orang yang SQ-nya
tinggi, akan mampu berempati pada orang lain, sehingga ia akan lebih mudah
untuk memilih perilaku yang tepat sehingga dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya (memiliki Kompetensi Sosial).
Selanjutnya jika Pofesor tersebut bersedia untuk meningkatkan pengetahuan dan
motivasinya untuk mempelajari budaya lain melalui pengalaman dan metoda pelatihan yang tepat, maka ia akan mampu
mengembangkan kecerdasan budayanya
(CQ).
Sumber:
LJ
UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK,
Unhan, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar