Jumat, 14 Februari 2020

Pisah Sambut, Pengantar Alih Tugas dan Purna Tugas di Pengadilan Agama Wonosobo (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Pisah Sambut, Pengantar Alih Tugas dan Purna Tugas
di Pengadilan Agama Wonosobo

Oleh: Arif Rudi S

Pada hari Jumat, tanggal 13 Maret 2020 pukul 13.30 WIB, telah dilangsungkan acara pisah sambut di Pengadilan Agama Wonosobo (PA), Jl Mayjen Bambang Sugeng Km 03 Wonosobo. Acara tersebut digelar sehubungan dengan alih tugas Ketua, Hakim, Panitera dan Wakil Panitera Pengganti Pengadilan Agama Wonosobo. Acara dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, anggota DPRD, Polres, Asosiasi Advokat Wonosobo (AAW), keluarga aparatur pengadilan, serta para calon hakim yang telah 1,5 tahun bekerja di PA Wonosobo dan akan ditempatkan sesuai dengan penempatannya masing-masing.

Acara berlangsung penuh canda tawa. Meriah sekaligus penuh haru. Pada sambutannya Ketua PA yang alih tugas ke PA Sleman Drs Moh Zaenudin SH MH, menceritakan prestasi PA Wonosobo yang dalam satu kategori berhasil masuk dalam 10 besar nasional. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, PA Wonosobo telah menjadi tempat bertanya bagi PA lain. Mantan Ketua PA Wonosobo menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada seluruh warga Pengadilan Wonosobo atas kerja sama yang baik sehingga menghasilkan kinerja yang bermutu.

Mantan Ketua PA mengatakan bahwa rata-rata aparatur pindah karena mendapatkan promosi  atau peningkatan karier. Bersama acara itu pula dilepas dua orang pegawai yang telah purna tugas. Acara dipandu oleh dua orang pegawai PA Wonosobo Ibu Eva dan Mbak Furqon yang mampu membuat acara menjadi semarak sekaligus memorable. Pada siang hari yang indah itu, Pengadilan Agama Wonosobo menyambut bergabungnya Ketua PA baru yang asli dari Wonosobo (Kaliwiro), Drs H Suyudi, M. Hum. Selamat datang Pak, masyarakat menanti kiprah anda.




The Three-Stage Model of Justice (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


The Three-Stage Model of Justice
Editor: Arif Rudi S

Faktor budaya dapat memengaruhi kriteria keadilan yang dipilih oleh masing-masing kelompok. Hal itu dapat dijelaskan dengan menggunakan The Three-Stage Model of Justice sebagai berikut:

Berdasarkan The Three-Stage Model of Justice, faktor budaya dapat berpengaruh terhadap Justice Rules, Justice Criteria dan Justice Practice.  Justice Rules artinya bahwa keadilan berfungsi menentukan peraturan dan prosedur yang akan digunakan untuk mengambil keputusan. Justice Criteria berarti bahwa kriteria keadilan berperan menentukan pedoman yang mengimplementasikan prosedur dan aturan yang digunakan. Sedangkan Justice Practice artinya bahwa praktik keadilan berfungsi memberikan cara-cara konkret sesuai kriteria yang diimplementasikan dan dievaluasi sampai pada putusan pengadilan.

Justice Rules
Pada peristiwa adanya pertentangan, di mana ada kelompok pro, dipandang oleh kelompok kontra tidak berhak melakukan sesuatu tindakan tanpa musyawarah dengan seluruh warga terlebih dahulu, sementara kelompok pro menegaskan bahwa mereka hanyalah pengikut dari tokoh adat, apabila ia sudah memutuskan maka mereka hanya akan mengikuti keputusan tokoh adat tersebut. Dalam hal ini, kedua pihak memperdebatkan tentang cara pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh perspektif budaya mereka tentang pengambilan keputusan.

Justice Criteria
Kesepakatan memberikan sebidang tanah adat kepada perusahaan tambang telah menimbulkan masalah bagi penduduk kampung. Warga pro tambang menerima kompensasi sejumlah uang per keluarga untuk jangka waktu sekian tahun. Sedangkan menurut warga yang kontra, kesepakatan hanya menyediakan tanah dengan ukuran panjang dan lebar tertentu untuk jalan kendaraan perusahaan dengan kompensasi diberikan kepada setiap keluarga selama periode tertentu. Jika pihak kontra mengaku tidak mengetahui tentang penyerahan tanah tersebut. Hal itu akan menimbulkan perbedaan kriteria keadilan di antara kedua belah pihak. Kriteria keadilan dapat berperan menentukan pedoman dalam mengimplementasikan prosedur dan aturan yang digunakan. Perbedaan kriteria keadilan menurut perspektif kelompok pro dan kontra ini menimbulkan masalah. Kemungkinan kelompok kontra keberatan menyerahkan tanah adat kepada perusahaan tambang karena faktor budaya, sedangkan menurut kelompok pro apabila tokoh adat sudah setuju maka mereka harus mengikutinya. Di samping itu, perbedaan nominal uang kompensasi yang diberikan oleh perusahaan tambang juga memunculkan masalah tentang ketidakadilan bagi para pihak.

Justice Practice
Pada peristiwa di mana awal proses hukum timbul karena diawali dari kriminalisasi terhadap pemuda warga desa yang dinilai mengancam karyawan tambang. Kemudian perkara itu dilaporkan kepada Komnas HAM yang merekomendasikan agar perusahaan meninggalkan lokasi. Selanjutnya, warga penolak tambang pernah menanyakan izin usaha pertambangan di desa mereka, dan dijawab oleh pejabat yang berwenang bahwa tanah ulayat warga tidak masuk wilayah pertambangan. Dalam hal justice practice masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk berhadapan dengan korporasi. Sementara pemerintah tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Hal itu semua berpengaruh terhadap cara para pihak mendapatkan keadilan terhadap apa yang mereka perjuangkan.

Sumber:
LJ UAS. Conflict Intervention. Arif Rudi S. DRK Unhan, 2015


Faktor Budaya yang Bisa Memengaruhi Tiga Konteks Sosial Negosiator (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Faktor Budaya yang Bisa Memengaruhi Tiga Konteks Sosial Negosiator
Editor: Arif Rudi S

Faktor budaya dapat memengaruhi tiga konteks sosial negosiator, yaitu:
A.  Dyadik
Antar individu tokoh masyarakat yang memberi pengaruh besar terhadap pengikutnya. Seorang tokoh adat yang keputusannya diikuti oleh warga yang pro perusahaan tambang, sedangkan warga kontra lebih mengikuti orang lain sebagai pemimpin mereka. Maka, seorang negosiator harus dapat melihat aspek ini dalam mencari jalan penyelesaian terhadap perselisihan tersebut.

B.  Grup
Ketika musyawarah dilaksanakan salah satu pihak merasa tidak dilibatkan dalam musyawarah. Menurut pihak kontra, musyawarah harus dilaksanakan dengan adil dan keputusannya harus melibatkan semua pihak. Sedangkan bagi pihak yang pro perusahaan tambang, keputusan yang sudah dibuat oleh pemimpin mereka sudah melalui prosedur yang sah dan wajib diikuti. Negosiator perlu melihat proses yang terjadi ini dari awal terbentuknya perselisihan sebelum grup-grup ini terbentuk agar ditemukan penyelesaian terbaik.

C.  Network
Faktor budaya dapat memengaruhi konteks sosial dari negosiator. Dalam konflik selalu ada pihak lain yang lebih luas selain dari kelompok masyarakat yang bertikai, yaitu adanya perusahaan, pemerintah dan pihak lain. Dalam kasus masyarakat yang tidak memiliki referensi histori ketika harus berhadapan dengan korporasi, kedudukan warga pro menjadi lemah karena pengetahuan dan pengalaman mereka tidak cukup.

Sumber:
LJ UAS. Conflict Intervention. Arif Rudi S. DRK Unhan, 2015


Pertanyaan Reflektif, Sugestif, Strategis dan Sirkuler dalam Negosiasi (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Pertanyaan Reflektif, Sugestif, Strategis dan Sirkuler dalam Negosiasi
Editor: Arif Rudi S

a. Pertanyaan Reflektif dalam negosiasi merupakan pertanyaan yang mendorong para pihak yang bertikai untuk memikirkan sikap dan perilaku mereka selama masa konflik. Dalam kasus tersebut pertanyaan reflektif yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
i   Pikirkan bagaimana seandainya setiap penyelesaian masalah yang terjadi di wilayah ini  akan  ditiru oleh generasi setelah kalian, bahwa setiap masalah hanya bisa diselesaikan dengan adu fisik seperti  yang terjadi kemarin?
ii Sampai kapankah sikap keras  dan saling mengalahkan ini akan terus berlangsung, bukankah kalian ini sesungguhnya saling bersaudara?

b. Pertanyaan Sugestif  merupakan salah satu pertanyaan dalam rangka untuk memecahkan kebuntuan yang terjadi pertanyaan sugestif memungkinkan opini mediator untuk didengarkan oleh para pihak. Pertanyaan yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
i  Apakah memisahkan diri dari kampung ini hanyalah satu-satunya pilihan yang kalian miliki?
ii   Apakah saling mengancam dan saling melaporkan menurut kalian dapat menyelesaikan masalah?

c. Pertanyaan Strategis dilakukan dengan cara mengulang pertanyaan yang sudah dijawab. Pertanyaan yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
i   Sebelum pertemuan hari ini,  saya telah mendapatkan informasi bahwa  bukankan tujuan anda datang ke pertemuan ini adalah menyelesaikan masalah dan mencari titik temu?
ii  Saya telah mendengar bahwa anda semua sebenarnya sudah lelah dengan pertikaian ini dan ingin kembali bersatu seperti sebelum peristiwa ini terjadi?

d.  Pertanyaan Sirkuler adalah pertanyaan mengenai hal-hal yang resiprokal atau timbal balik. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah sebagai berikut:
i  Apa yang anda ingin pihak lain lakukan agar permasalahan ini tidak semakin berlarut-larut?
ii Apa yang dapat anda tawarkan kepada pihak lain agar pihak lain itu juga dapat memberikan alternatif yang sama agar masalah ini bisa segera berakhir?

Sumber:
LJ UAS. Conflict Intervention. Arif Rudi S. DRK Unhan, 2015


Jumat, 07 Februari 2020

Principled Negotiation (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Principled Negotiation
Editor: Arif Rudi S

Fisher & Ury memperkenalkan konsep Principled Negotiation, dengan konsep utamanya sebagai berikut:
a. Memisahkan orang dari permasalahan (orang didorong untuk menemukan jalan keluar daripada hanya fokus pada masalah);
b. Fokus pada interest (kebutuhan), bukan pada posisi;
c. Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui brainstorming;
d. Pemecahan masalah harus mengikuti asas keadilan bagi semuanya.

Dalam kasus terjadinya konflik yang melibatkan antara kelompok warga yang setuju dengan kehadiran perusahaan tambang dan warga penolak tambang, terjadinya kekerasan yang dicurigai sebagai upaya untuk melumpuhkan tokoh masyarakat adat. Peristiwa itu pula telah memaksa warga yang setuju kehadiran perusahaan tambang untuk meninggalkan desa untuk menghindari aksi kekerasan lanjutan. Pasca terjadinya kekerasan tersebut kedua kelompok yang berbeda pendapat saling mengancam dan melakukan upaya-upaya demi mengukuhkan posisi mereka masing-masing.

Konflik yang terjadi dalam kasus seperti itu masih dapat diselesaikan dengan cara negosiasi dengan menggunakan prinsip-prinsip yang dibawa oleh Fisher & Ury.

Dalam prinsip pertamanya, Fisher & Ury mengutamakan agar mediator dapat memisahkan orang atau kelompok yang berselisih dengan permasalahan yang terjadi. Para pihak didorong untuk mencari jalan keluar daripada hanya fokus pada masalah yang ada. Para pihak harus memahami bahwa masalah mereka harus dituntaskan dan jalan keluar harus dapat ditemukan. Warga pro dan warga kontra terhadap kehadiran tambang di wilayah mereka harus duduk bersama untuk fokus pada pencarian jalan keluar untuk kepentingan semua pihak.

Pada prinsip kedua, Fisher dan Ury berpendapat bahwa dalam negosiasi para pihak harus berfokus pada kebutuhan (interest) bukan pada posisi. Pelaku negosiasi jangan sampai terjebak pada anggapan bahwa semakin jelas posisi suatu pihak, maka komitmen akan semakin tinggi. Pelaku negosiasi tidak boleh beranggapan bahwa gambaran-gambaran yang diberikan terhadap kelompok lain tidak dapat untuk merubah posisi yang ada. Apabila perhatian yang diperikan kepada posisi para pihak semakin tinggi maka kebutuhan mereka semakin tidak diperhatikan. Dimulainya proses dengan posisi yang tertinggi dapat meningkatkan tekanan terhadap proses dan semua itu menjadikan negosiasi menjadi tidak efisien. Para pihak baik yang pro maupun kontra beserta elemen-elemen lain seperti pihak perusahaan maupun pemerintah harus dapat keluar dari kesalahan-kesalahan seperti itu.

Menurut Fisher & Ury, kedua pihak harus fokus pada kebutuhan dimana pihak pro dan kontra mencari tahu apa saja kebutuhan mereka dan mereka dapat fleksibel tentang bagaimana pemenuhan kebutuhan itu sehingga kebutuhan tersebut dapat dinegosiasikan.

Prinsip ketiga menurut Fisher & Ury bahwa pemecahan masalah dapat dilakukan dengan brainstorming. Dimana pihak pro dan kontra dapat saling berbagi informasi tentang kebutuhan-kebutuhan mereka dan apa pun yang perlu diketahui oleh kelompok lain. Tanpa adanya saling terbuka di antara kelompok pro dan kontra penyelesaian masalah akan menjadi tidak terarah  dan tidak tepat sasaran.

Prinsip keempat menurut Fisher dan Ury adalah bahwa semua harus terlibat, semua pihak harus diperjelas posisinya dan setiap langkah yang diambil harus dapat memberikan keadilan bagi semua kelompok.  

Sumber:
LJ UAS. Conflict Intervention. Arif Rudi S. DRK Unhan, 2015

Teori Dominasi Sosial (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Teori Dominasi Sosial

Editor: Arif Rudi S

Teori Dominasi Sosial atau Social Dominance Theory (SDT), menurut Sidanius dan Pratto adalah ketidaksetaraan hierarki sosial berdasarkan kelompok yang merupakan hasil distribusi nilai sosial secara tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat baik nilai positif maupun negatif, yang mana ketidaksetaraan distribusi nilai sosial ini dapat dimanfaatkan oleh ideologi sosial, keyakinan, mitos dan doktrin tertentu sebagai alat pembenaran.

Terkait dengan konflik politik di Thailand faktor struktural yang memengaruhi akumulasi konflik politik yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:

Bahwa akar konflik di Thailand diwarnai dengan terjadinya persaingan antar elit politik, perombakan kabinet dan pelemahan terhadap sistem monarki konstitusional. Mantan perdana menteri Thailand sebagai salah satu pihak yang mendukung adik kandungnya Yinluck Shinawatra, mendapat dukungan besar dari massa kaos merah yang mewakili petani, buruh dan lapisan masyarakat bawah (kelompok “lemah”), berkonflik dengan perdana menteri petahana Abhisit Vejjajiva yang didukung secara masif oleh kelompok kaos kuning yang terdiri dari para cendikiawan, elit politik, masyarakat urban dan oleh pengusaha (kelompok dominan). Kedua pihak saling menjatuhkan dan berebut dominasi untuk memimpin politik tertinggi di Thailand.

Ketidaksetaraan hierarki sosial yang merupakan hasil distribusi nilai sosial yang tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat (baik nilai positif maupun negatif), di mana ketidaksetaraan distribusi nilai sosial tersebut dimanfaatkan sebagai alat pembenaran oleh pihak “lemah” untuk menjatuhkan kelompok dominan, dan kelompok dominan berusaha mempertahankan dominasinya.

Sumber:

LJ UAS Semester I, Nature of Conflict, Arif Rudi S. DRK Unhan, 2014.



Peran Lembaga Negara dan Masyarakat dalam Menunjang Keberhasilan Reformasi Pertahanan (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


Peran Lembaga Negara dan Masyarakat dalam Menunjang Keberhasilan Reformasi Pertahanan

Editor: Arif Rudi S

Peran pemerintah maupun aktor non-pemerintah dalam upaya reformasi pertahanan sangat penting, sebab reformasi pertahanan tidak hanya ada di lingkup institusi pertahanan saja. Komponen tersebut terdiri atas kelompok eksekutif, legislatif, yudikatif, ilmuwan, dan masyarakat. Suksesnya reformasi pertahanan bergantung pada penguatan lembaga baik sipil maupun partai politik. Reformasi militer yang efektif membutuhkan kapasitas institusional yang kuat dari partai politik dan institusi sipil yang memiliki pemahaman memadai tentang bidang pertahanan. Pemahaman tersebut menjadi penting karena dapat  mewarnai keputusan serta mekanisme check and balances dalam membangun kekuatan pertahanan yang profesional, transparan dan akuntabel.

Pelaksanaan reformasi pertahanan negara tidak hanya bergantung pada institusi pertahanan semata, tetapi unsur-unsur di luar institusi pertahanan seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, ilmuwan dan masyarakat juga tidak kalah penting. Mewujudkan reformasi pertahanan memerlukan institusi sosial dan ekonomi kuat yang dapat memfasilitasi penguatan organisasi sipil dan partai politik. Masalah umum dalam pemerintahan (eksekutif) demokratis harus dapat diatasi, terutama menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Tanpa kepemimpinan politik sipil yang berkualitas serta pembangunan partai (yang menghasilkan figur-figur yang akan mengisi lembaga-lembaga strategis negara) yang jelas, bersatu, dan konsisten, stabilitas nasional akan selalu relatif dan fluktuatif. Tanpa adanya institusi sipil (masyarakat dan ilmuwan) yang kuat, reformasi militer juga akan mengalami kesulitan untuk mencapai keberhasilan. Konsekuensi dari penguatan institusi sipil dan partai politik menuntut adanya kebutuhan untuk meninjau ulang dan memperbaiki semua peraturan yang dibutuhkan bagi pengelola keamanan nasional sebagai suatu sistem yang dikelola dalam manajemen nasional tempat pertahanan negara berada di dalamnya. Dalam upaya melakukan reformasi di bidang pertahanan negara telah menyelesaikan beberapa capaian di antaranya adalah adanya dokumen-dokumen strategis yang baru, seperti Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara dan Rencana Pembangunan Kapabilitas Pertahanan Negara. Dokumen-dokumen strategis tersebut menekankan penyelenggaraan pertahanan negara Indonesia dalam konteks sistem pertahanan semesta yang memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh. Demikian pula halnya dengan penetapan strategi pertahanan negara yang baru dapat memberikan arah yang jelas bagi para penyelenggara pertahanan negara dalam membangun pertahanan negara ke depan.

Pertahanan nirmiliter menjadi bagian dari postur pertahanan negara Indonesia yang dikembangkan ke depan. Pertahanan negara di masa lalu lebih berorientasi kepada kekuatan pertahanan militer, ke depan sistem pertahanan negara akan menyinergikan secara proporsional fungsi pertahanan militer dengan fungsi pertahanan nirmiliter (juga dibidang penegakan hukum/yudikatif). Pertahanan negara yang hanya berorientasi pada pertahanan militer tidak akan menjadi solusi terbaik dalam menghadapi tantangan bangsa yang kompleks. Pertahanan negara harus diletakkan sebagai pelayanan publik yang penting, yang juga mencakupi keamanan ketersediaan pasokan energi dan jaminan sistem distribusinya secara baik, pelabuhan yang aman, bandara yang aman dan efisien, pelayanan kesehatan yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, serta jaminan keamanan sosial. Sehingga peran serta berbagai kelompok yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, ilmuwan dan masyarakat sangat penting untuk terwujudnya reformasi di bidang pertahanan negara.

Sumber:

LJ UAS. Indonesian National Defence System (INDS), Arif Rudi S. DRK Unhan, 2014


A Tit for Tat Strategy (Advokat | Pengacara | Konsultan Hukum Wonosobo)


A Tit for Tat Strategy

Editor: Arif Rudi S

A Tit for Tat Strategy adalah strategi kerja sama berbasis saling membalas yang diperkenalkan oleh Anatol Rapoort pada tahun 1981. Menurut simulasi komputer Axelrod, strategi ini adalah yang terbaik untuk membangun kerja sama jangka panjang. Garis besar yang dapat dilakukan dalam strategi ini adalah pihak pertama jangan berkhianat dan lakukan apa yang dilakukan pihak kedua sebelumnya. Kemudian bila pihak lawan itu berkhianat maka pihak pertama harus berkhianat.

Jadi kedua belah pihak berupaya menyelesaikan konflik dengan cara saling membalas.     Menurut strategi ini apabila para pihak ingin membangun kerja sama jangka panjang, maka pihak pertama seharusnya tidak pernah mulai berkhianat dengan tidak membayar kompensasi secara merata dan bila hal itu terjadi maka pihak kedua harus menghukum perbuatan pihak pertama itu salah satunya dengan cara menduduki lahan pihak kedua (hal tersebut tidak boleh dibiarkan). Pihak pertama tidak boleh baik terus nanti akan terus menjadi korban. Akan tetapi setelah satu tindakan pembalasan pihak pertama harus memaafkan pihak kedua dengan memercayainya lagi jangan saling membalas terus agar kerja sama dapat terbangun dalam waktu yang lama.

Sumber:

LJ UAS Semester I, Nature of Conflict, Arif Rudi S. DRK Unhan, 2014.

Rabu, 05 Februari 2020

Mengatasi Gerakan Separatis dan Pemberontakan Bersenjata (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Mengatasi Gerakan Separatis dan Pemberontakan Bersenjata

Editor: Arif Rudi S

Dalam mengatasi gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata harus dilakukan penyelesaian secara komprehensif, yang artinya bahwa penyelesaian ancaman gerakan separatis dan pemberontakan harus dilakukan dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Ancaman separatisme dan pemberontakan bersenjata berawal dari faktor-faktor nirmiliter, yaitu faktor di luar militer sehingga ancaman tersebut harus diselesaikan pula dengan pendekatan nirmiliter. Kekuatan pertahanan militer yang digunakan untuk menghadapi ancaman separatisme dan pemberontakan bersenjata merupakan keputusan politik pemerintah yang harus didasarkan padaundang-undang. Penggunaan kekuatan TNI dilaksanakan melalui opersi militer selain perang dengan mengembangkan strategi operasi yang tepat dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Menurut Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008, ujung dari pendekatan nirmiliter adalah membawa seluruh warga negara Indonesia merasa nyaman tinggal di negaranya sendiri sehingga bibit-bibit separatisme tidak berkembang. Peran pertahanan nirmiliter dalam menghadapi ancaman separatisme adalah meningkatkan efektivitas fungsi pembangunan nasional.

Cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata adalah dengan memulihkan keamanan dengan menindak secara tegas separatisme bersenjata yang melanggar hak-hak masyarakat sipil; memperkuat komunikasi politik pemerintah dengan masyarakat; melaksanakan pendidikan politik untuk meningkatkan rasa saling percaya dan nasionalisme; dan memperkuat kelembagaan pemerintah daerah di bidang pelayanan publik. Selain itu dalam rangka mencapai penyelesaian tersebut juga harus didukung dengan arah kebijakan strategis dengan melakukan pemerataan pembangunan di setiap daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan meningkatkan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi.

Negara telah berhasil menyelesaikan aktivitas gerakan separatis bersenjata di Aceh dengan baik. Pemerintah dan Masyarakat Aceh mampu menyelesaikan permasalahan bersama secara damai, dengan pendekatan dialogis yang melibatkan semua pihak dan dalam kerangka NKRI. Proses pembauran antara eks GAM dan warga lainnya di Aceh juga berjalan baik, Aceh yang stabil, aman, dan demokratis dapat terwujud. Hak politik seluruh warga Aceh diberikan seluas-luasnya. Keberhasilan menyelesaikan persoalan di Aceh merupakan prestasi yang dapat menjadi modal untuk menyelesaikan persoalan sejenis di wilayah Indonesia yang masih ada.

Sumber:

LJ UAS. Indonesian National Defence System (INDS), Arif Rudi S. DRK Unhan, 2014.

Dinamika Kecerdasan Budaya (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Dinamika Kecerdasan Budaya
Editor: Arif Rudi S

Pertanyaan:

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan santun dan memiliki budaya yang beragam. Lalu mengapa kita melihat di TV dalam satu talk show, ada seorang profesor alumni dari universitas di Amerika yang terkenal sangat sulit untuk diterima dan lulus, secara terbuka berbicara tentang suku/agama lain seolah-olah sebagai musuh dan kemudian memaki-maki orang dari suku/agama tersebut secara live (siaran langsung), sehingga ditegur oleh pewawancaranya? Jelaskan melalui teori kecerdasan yang anda ketahui. Apakah ada kompetensi yang kurang pada diri profesor ini? Jika ya, bagaimana cara merubah atau mengembangkan perilaku profesor ini agar lebih baik di masa depan?

Jawaban:

Kompetensi yang kurang dari profesor yang memiliki Intelectual Quotient (IQ) tinggi yang dibuktikan dari statusnya sebagai alumni dari universitas di Amerika tersebut adalah ia memiliki Emotional Intelligence (EI), Cultural Quotient (CQ) rendah sehingga ia memiliki Social Intelligence (SI) yang rendah pula. IQ adalah ukuran tingkat kecerdasan seseorang yang dapat menunjukkan seseorang dapat berhasil dalam prestasi akademik, EI merupakan kemampuan kecerdasan memanfaatkan informasi emosional sedangkan CQ adalah kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya. Menurut Crowne antara SI, EI dan CQ saling berhubungan. SI merupakan kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas interpersonal dan bertindak secara bijaksana dalam berhubungan atau kemampuan seseorang untuk memahami dan mengelola orang lain. Sedangkan EI adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain serta kemampuan untuk secara efektif menggunakan informasi emosional dalam proses berpikir dan tindakan yang tepat sehingga EI merupakan bagian dari SI  dengan fokus pada aspek emosional. CQ adalah kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya sehingga ia merupakan bagian dari SI (varian dari SI) namun khusus untuk konteks budaya atau lintas budaya yang artinya bahwa semua aspek CQ juga bisa dianggap sebagai keterampilan SI. Jadi tidak semua interaksi sosial memerlukan keterampilan EI dan keterampilan CQ tetapi EI dan CQ adalah keterampilan-keterampilan yang membuat seseorang cerdas secara sosial (SI). Profesor alumnus dari Amerika serikat tersebut ber-IQ tinggi akan tetapi memiliki EI dan CQ yang rendah ditunjukkan dengan memusuhi suku/agama lain dan memaki-maki orang dari suku/agama lain itu di depan televisi saat siaran langsung sehingga mengakibatkan ia sulit berempati dan melakukan berinteraksi sosial sesuai dengan norma-norma yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia karena rendahnya SI Profesor tersebut.

Kecerdasan Emosi (EQ) merupakan faktor yang harus ditingkatkan oleh Profesor tersebut.  Orang yang memiliki EQ tinggi, akan menyadari kondisi emosinya serta mampu mengelola emosinya. Ia akan mampu beradaptasi dengan dunia luar. Selain itu ia juga akan dapat memelihara keseimbangan diri pada saat menghadapi masalah (resilien/tangguh). Saat berinteraksi dengan orang lain, orang yang EQ nya tinggi, akan memiliki kesadaran tentang kondisi dirinya dan orang lain, termasuk berempati pada orang lain, pada saat  orang lain tersebut berada pada kondisi emosional yang negatif. Hal ini tentunya akan menjadi modal dasar baginya untuk mengembangkan Kecerdasan Sosial  (SQ) nya, karena orang yang SQ-nya tinggi, akan mampu berempati pada orang lain, sehingga ia akan lebih mudah untuk memilih perilaku yang tepat sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya (memiliki Kompetensi Sosial). Selanjutnya jika Pofesor tersebut bersedia untuk meningkatkan pengetahuan dan motivasinya untuk mempelajari budaya lain melalui pengalaman dan metoda pelatihan yang tepat, maka ia akan mampu mengembangkan kecerdasan budayanya (CQ).

Sumber:
LJ UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK, Unhan, 2014.


Dinamika Kecerdasan Emosional Peacekeeper (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Dinamika Kecerdasan Emosional Peacekeeper
Editor: Arif Rudi S

Pertanyaan:

Dari hasil pemeriksaan di suatu misi PBB di Afrika, diketahui seorang peacekeeper asal Italia, sebagai bagian dari bangsa Latin yang relatif lebih emosional daripada bangsa Anglo Saxon, memiliki kecerdasan emosional (EI) yang lebih tinggi dari rata-rata peacekeeper asal Amerika Serikat keturunan Anglo Saxon yang rasional (komposisi pasukan perdamaian AS tersebut sangat multikultural, karena itu untuk soal ini hanya dibandingkan dengan mereka yang beretnis Barat/Kaukasia). Namun demikian, ternyata ia dipersepsi tidak lebih berempati pada masyarakat lokal yang bermasalah, dibandingkan para prajurit AS keturunan Anglo Saxon tersebut. Jelaskan mengapa terjadi?

Jawaban:

Kecerdasan Emosional (EI) yang dimiliki peacekeeper Italia tidak berarti bahwa ia cerdas secara budaya (Cultural Quotient/CQ). Menurut Crowne 2009, EI adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga orang lain serta kemampuan untuk secara efektif menggunakan informasi emosional ini dalam proses berpikir dan tindakan yang tepat. Oleh karena itu EI adalah bagian dari Social Intelligence (SI) namun fokus pada aspek emosional. Sedangkan CQ adalah kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya yang mana hal ini ditunjukkan oleh peacekeeper dari Amerika serikat meskipun ia tidak memiliki EI yang lebih tinggi dari peacekeeper Italia. CQ juga merupakan bagian dari SI, keterampilan CQ adalah varian dari SI, namun khusus untuk konteks budaya atau lintas-budaya, yang berarti bahwa semua aspek CQ juga bisa dianggap sebagai keterampilan SI. Tidak semua interaksi sosial memerlukan keterampilan EI dan CQ, tetapi semua EI dan CQ keterampilan aspek yang cerdas secara sosial. Orang Italia meskipun ia memiliki EI yang lebih tinggi dari peacekeeper Amerika tetapi peacekeeper Italia tidak mempunyai Cultural Intelligence lebih baik dari peacekeeper Amerika sehingga peacekeeper Italia tidak dapat berempati pada masyarkat lokal yang bermasalah daripada peacekeeper Amerika Serikat.

Sumber:
LJ UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK, Unhan, 2014.


Ketahanan Sosial Komunitas (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Ketahanan Sosial Komunitas
Editor: Arif Rudi S

Pertanyaan:
Ketahanan sosial (social resilience) suatu komunitas, dicirikan oleh kemampuan dari komunitas tersebut untuk mengadopsi nilai-nilai yang cenderung mengarah pada kebersamaan. Sesuai penelitian Hofstede, nilai rata-rata responden Indonesia cenderung lebih kolektivis. Namun demikian, mengapa pada saat terjadi bencana, kita temukan masyarakat Indonesia seolah-olah berebut bantuan, sehingga terlihat sangat individualis dan tidak teratur, berbeda dengan masyarakat Jepang yang saat mengalami tsunami, terlihat sangat kolektif, saling menawarkan bantuan tersebut kepada orang yang lebih membutuhkan? Apakah masyarakat kita sudah menjadi individualis?

Jawaban:
Sesuai penelitian Hofstede nilai rata-rata responden Indonesia cenderung lebih kolektivis yang artinya masyarakat Indonesia mengadopsi nilai-nilai yang mengarah kepada kebersamaan. Akan tetapi pada saat terjadi bencana ditemukan bahwa masyarakat Indonesia saling berebut bantuan sehingga terlihat sangat individualis dan tidak teratur, berbeda dengan masyarakat Jepang ketika mengalami tsunami terlihat kolektif dan saling memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Hal tersebut disebabkan karena Community resilience orang Indonesia rendah meskipun kolektivitasnya tinggi. Community Resilience adalah konsep ketahanan masyarakat yang dikembangkan terutama dalam konteks bencana, gangguan sipil dan perang, di mana badan-badan bantuan mengamati bahwa masyarakat bereaksi berbeda terhadap bencana yang sama. Ketahanan masyarakat merupakan sebuah proses di mana faktor-faktor budaya, politik dan sosial berinteraksi dalam menghadapi kondisi yang merugikan untuk membentuk sebuah komunitas kohesif.

Menurut Manyena (2006), ketahanan masyarakat mencerminkan kemampuan masyarakat untuk menahan tekanan yang berhubungan dengan:
(1)   Besarnya guncangan bahwa masyarakat atau sistem dapat menyerap sambil mempertahankan keadaan tertentu;
(2)  Sejauh mana masyarakat mampu mandiri organisasi;
(3)  Sejauh mana masyarakat dapat membangun kapasitas untuk belajar dan adaptasi.

Rendahnya community resilience orang Indonesia menyebabkan ketika terjadi tsunami masyarakat Indonesia menjadi terlihat Individualis, karena saling berebut bantuan secara tidak teratur dibandingakan masyarakat Jepang yang justru saling menawarkan bantuan kepada yang membutuhkan. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa masyarakat Indonesia menjadi individualis akan tetapi karena rendahnya community resilience.

Sumber:
LJ UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK, Unhan, 2014.


Perubahan Sikap Melalui High Cognitive Effort Persuasion (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Perubahan Sikap Melalui High Cognitive Effort Persuasion
Editor: Arif Rudi S

Pertanyaan:

Anda ingin merubah sikap (attitude) dari seorang tokoh masyarakat dari salah satu kelompok yang sedang berkonflik etno-religius dengan kelompok lawannya. Tokoh ini sangat diskriminatif dan anti dengan kelompok lawannya, menganggap versi penderitaan kelompoknya adalah yang paling benar, dan pihak lawannya adalah pihak agresor yang harus dibasmi sampai tuntas. Walaupun pendidikannya tidak terlalu tinggi namun yang bersangkutan adalah seorang tokoh karismatis yang menjadi panutan masyarakatnya. Sebagai fasilitator perdamaian, apa pengertian anda tentang sikap dan langkah-langkah apa yang akan anda lakukan untuk merubah sikapnya?
Jawaban:
Pada dasarnya sikap dapat diubah karena setiap orang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Persuasi adalah salah satu cara untuk mengubah sikap. Persuasi dapat membentuk dan merubah sikap hasil dari pengolahan informasi. Langkah yang dapat diterapkan kepada tokoh yang karismatis dan menjadi panutan masyarakatnya akan tetapi pendidikannya tidak terlalu tinggi tersebut adalah High Cognitive Effort Persuasion yang mengajak tokoh tersebut untuk merefleksikan dirinya sebagai pihak lawannya ia dapat memahami dengan lebih baik tentang penderitaan lawannya. Upaya persuasi ini berfokus pada usaha pengolahan secara sistematis yang dipandu oleh fasilitator.

Tokoh yang mendapatkan pesan persuasif secara aktif tersebut diharapkan setelah pesan-pesan tentang pengetahuan masalah yang terjadi, maka sikapnya selama ini terhadap konflik etno religius tersebut diharapkan berubah menjadi pemikiran atau tanggapan secara kognitif yang baru. Perubahan sikap dari mediasi oleh melalui respons kognitif tokoh tersebut. Tingkat dan arah perubahan sikap merupakan fungsi dari respons kognitif yang terkaitan dengan pesan dan posisi tokoh tersebut. Respon kognitif yang ditunjukkan oleh tokoh tersebut dapat (a) yang menguntungkan, (b) tidak menguntungkan, atau (c) netral. Semakin besar tanggapan positif dan semakin kecil tanggapan negatif yang oleh pesan yang muncul, semakin besar perubahan sikap ke arah yang dianjurkan oleh pesan-pesan yang diinternalisasikan kepada tokoh tersebut.

Sumber:
LJ UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK, Unhan, 2014.


Dinamika Ketahanan dan Kompetensi Sosial-Budaya Prajurit Multinasional (Advokat | Pengacara Wonosobo)


Dinamika Ketahanan dan Kompetensi Sosial-Budaya Prajurit Multinasional
Oleh: Arif Rudi S

Pertanyaan:

Seorang Komandan Kompi (Danki) Penjaga Markas (Force Protection Company) asal Indonesia, kedatangan tamu seorang Kolonel, komandan lokal pasukan setempat. Saat tiba dengan mobil di pos depan, ia berkata akan menemui komandan pasukan PBB yang sudah dikenalnya dengan baik. Namun demikian namanya tidak ada dalam daftar, Danki berhak menolak masuk, dan ia melakukannya. Karena Kolonel berkeras, muncul ketegangan dan sang Kolonel pun memaki-maki si Danki. Ajudan Kolonel lalu turun dari mobil dan bernegosiasi meminta Danki agar menelpon Kepala staf (Kastaf) pasukan seorang Brigadir Jenderal dari Inggris. Kemudian sang Kolonel bicara langsung dengan Kastaf meminta Danki agar mempersilahkan masuk, karena jika tidak akan terjadi masalah diplomatis. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah menurut Trompenaars & Turner (1997), orang Inggris jauh lebih taat aturan dari orang Indonesia bukan sebaliknya?

Jawaban:

Menurut Trompenaars & Turner (2007) orang Eropa Kastaf (orang Inggris) jauh lebih taat aturan daripada orang Indonesia (Komandan Kompi). Berdasarkan penelitiannya orang Eropa bersifat universalis yaitu lebih memilih aturan daripada intuisi sedangkan orang Asia sebaliknya lebih memilih intuisi daripada mematuhi aturan. Akan tetapi Kastaf yang merupakan orang Inggris tersebut memiliki kecerdasan budaya yang baik sehingga ia paham akan budaya setempat dan bertindak sesuai dengan budaya setempat. Sedangkan Danki dari Indonesia yang sebenarnya lebih memiliki sifat intuitif dan kurang mematuhi aturan seperti orang Inggris akan tetapi Danki dari Indonesia tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya dimana ia berusaha menaati aturan yang ada dan ia melarang tamu yang tidak sesuai prosedur masuk markas. Sedangkan Kastaf orang Inggris tersebut memilih untuk mengizinkan Kolonel masuk ke markas karena ia ingin tetap menjaga hubungan baik dengan komandan lokal sehingga hubungan baik di antara mereka tetap terjaga dan tidak timbul masalah baru dan lebih menguntungkan bagi peacekeeper di masa depan.

Sumber:
LJ UAS Semester I, Socio-Cultural Competence and Resilience, Arif Rudi S. DRK, Unhan, 2014.


Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...