Jumat, 28 Desember 2018

Mau Dibawa Kemana Komisi HAM Wonosobo?

Mau Dibawa Kemana Komisi HAM Wonosobo?
Oleh:
Arif Rudi Setiyawan
Advokat tinggal di Wonosobo


Pertama-tama kami ucapkan selamat kepada pemerintah dan masyarakat Wonosobo atas kelahiran Komisi Wonosobo Ramah Hak Asasi Manusia (Komisi HAM Wonosobo), yang dikukuhkan pada hari Selasa tanggal 6 November 2018, yang lalu. Komisi HAM daerah pertama di Indonesia itu kita harapkan akan menjadi lembaga representatif yang mampu memajukan dan menegakkan HAM khususnya di Kabupaten Wonosobo, sesuai cita-cita Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  

Komisi HAM Wonosobo adalah wujud dari kebijakan kabupaten/kota ramah HAM yang berasal dari konsep human right city. Sebagaimana dicatat oleh Sakban Khusen (2016), human right city adalah konsep kota hak asasi manusia yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh People's Movement for Human Rights Education/Learning, dan dikembangkan oleh World Human Rights Cities Forum (WHRCF). Pada tahun 2013 konsep kabupaten/kota ramah HAM itu memperoleh pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindak lanjut konsep tersebut di tingkat nasional ditandai dengan adanya kebijakan Kabupaten Ramah HAM dari pemerintah pusat, yang juga terinspirasi dari kota Gwangju (Korea Selatan) dan didukung adanya aspek-aspek dari dalam negeri yang kompatibel menjadi landasan bagi penerapan konsep ramah HAM tersebut.

Masyarakat tentu mengapresiasi kebijakan kabupaten ramah HAM bila mana konsep itu benar-benar dijalankan oleh pemerintah daerah, dengan menjadikan HAM sebagai prinsip dasar dan kerangka kerja penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan masyarakat kabupaten Wonosobo. Masyarakat Wonosobo akan mendukung terwujudnya cita-cita itu, dengan membantu kinerja kesembilan anggota komisi HAM yang telah diangkat oleh pemerintah daerah. Komisi yang diketuai oleh Sumaedi itu-lah yang nantinya bertugas untuk membawa dan memastikan pelaksanaan komitmen HAM Pemerintah Kabupaten Wonosobo, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2016 tentang Wonosobo Kabupaten Ramah HAM (Perda).

Mengenai tugas kesembilan orang anggota komisi HAM itu, Wakil Bupati Wonosobo menjabarkan sebagai berikut:
a.  melakukan branding dan promosi pengarus-utamaan nilai-nilai HAM kepada publik agar bisa terserap di dalam masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Perda, khususnya pasal 76 ayat 3 yang mengamanatkan agar membentuk komisi untuk membantu bupati dalam menerapkan rencana aksi daerah Kabupaten Wonosobo; 
b. melakukan inisiatif pemajuan HAM mulai dari daerah dan bisa melakukan filter atau melokalisasi potensi permasalahan HAM di tingkat lokal;
c. membantu akselerasi penerapan rencana aksi nasional HAM, dan komisi daerah akan menjadi rekan bagi desk Wonosobo Ramah HAM Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam mengawal isu HAM sebagai implementasi peraturan daerah; dan
d. sebagai ujung tombak untuk menangani permasalahan HAM yang bersifat lokal dan kedaerahan.

Kita berharap agar Komisi HAM Wonosobo selain menjalankan tugas tersebut di atas, tentu juga dapat menangani pelanggaran-pelanggaran HAM lain yang luput dari pantauan Komnas HAM pusat dan dapat membantu korban yang terkendala dengan berbagai faktor dan tidak mengetahui prosedur pengaduan. Sebab ada banyak jenis hak asasi manusia yang rawan dilanggar dan wajib dilindungi oleh negara berdasarkan undang-undang. Undang-undang menjelaskan jenis-jenis hak asasi manusia yang wajib dilindungi, yaitu: hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.

Meskipun Komisi HAM Wonosobo tidak memiliki hubungan struktural dengan Komnas HAM di Jakarta, akan tetapi terkait tugas dan fungsi mungkin dapat mengadopsi peran Komnas HAM pusat. Komnas HAM pusat bertugas melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia. Patut dinanti apakah Komisi HAM Wonosobo juga menjalankan fungsi-fungsi tersebut termasuk fungsi yang sangat penting yaitu menerima pengaduan dari masyarakat dengan membuka fasilitas pengaduan baik melalui media online maupun pengaduan langsung ke kantor. Komisi HAM Wonosobo perlu menjelaskan alur dan mekanisme pengaduan tersebut kepada masyarakat. Komisi tersebut perlu segera menyiapkan segala sesuatu untuk mulai menjalankan fungsinya. Selain lembaga itu tetap harus terkoneksi dengan organisasi jaringannya, ia harus mulai menggandeng masyarakat dengan melakukan sosialisasi hingga ke daerah pinggiran kota dan perdesaan, agar masyarakat mengetahui keberadaan dan mendapatkan manfaat seperti yang diharapkan.

Komisi HAM Wonosobo hadir sebagai pionir dengan membawa beban yang tidak ringan. Selain bertanggung-jawab menegakkan HAM di wilayahnya, sekaligus juga akan disorot dan dijadikan tolok ukur bagi kabupaten/kota lain yang ingin memajukan perlindungan HAM di wilayah masing-masing.



Rabu, 05 Desember 2018

Unsur Budaya Jawa untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Unsur Budaya Jawa untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A.        Faktor-Faktor Konflik
Dalam artikel berjudul “Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik yang dimuat di situs Indonesiana.tempo.co, pada tanggal 18 September 2018,” penulis menyitir pendapat John Burton yang menyebutkan bahwa konflik di antara umat manusia terjadi akibat adanya dorongan untuk berjuang pada seluruh tataran sosial dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan primordial-universalnya, yaitu kebutuhan rasa aman, identitas, pengakuan dan pembangunan (Teori Kebutuhan Manusia). Kali ini, kami akan mencoba menggambarkan satu-persatu faktor yang terindikasi melahirkan konflik antara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berhadapan dengan negara. Selanjutnya penulis ingin memaparkan pula unsur-unsur budaya Jawa yang layak menjadi pedoman sebagai penangkal radikalisme dan terorisme yang muncul dari faktor konflik itu.

Berikut ini adalah empat faktor konflik yang diderita JAT mengacu pada Teori Kebutuhan Manusia:
1. Kebutuhan Rasa Aman
Dalam buku Tadzkiroh I pada butir 4, Ustadz Abu Bakar Baasyir menuliskan nasihat kepada para pemimpin negara untuk bertaubat dan menaati perintah Allah agar mengatur negara dengan hukum Allah secara murni dan kaffah agar selamat dari siksa neraka. Pernyataan tersebut menunjukkan keinginan adanya pemenuhan kebutuhan rasa aman. Buku Tadzkiroh merupakan pernyataan sikap yang menggambarkan cita-cita dan perjuangan organisasi itu. JAT bercita-cita agar umat Islam selamat dari azab dan siksaan Allah baik di dunia maupun akhirat dengan cara memperjuangkan tegaknya syariat Islam dan menjalankan perintah Allah dengan mengatur negara secara murni dan kaffah. Ustadz Abu bakar Baasyir sebagai pemimpin kelompok JAT, meyakini bahwa rakyat dalam negara yang tidak diatur dengan hukum Islam maka amal ibadahnya sia-sia.

2. Kebutuhan Identitas
Kelompok JAT merasa memiliki identitas yang berbeda dengan orang-orang yang tidak satu pemahaman dengan mereka, di samping itu mereka tidak cocok dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan hidup berbangsa dan bernegara. JAT menghendaki umat Islam-lah yang memimpin negara, umat beragama lain akan dilindungi dan dinaungi dalam hukum Islam. Kelompok tersebut menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam sedunia dalam satu khilafah. Identitas keislaman itulah yang diperjuangkan dengan pengorbanan besar sekalipun.

3. Kebutuhan Pengakuan
JAT menginginkan umat Islam diakui sebagai pemimpin. Pengelolaan negara harus dilakukan berdasarkan hukum Islam yang diakui sebagai hukum dasar negara. JAT menekankan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Tuhan yang dipastikan kebenarannya, oleh karena itu negara harus didasarkan pada hukum Islam. Pancasila bukan pilihan terbaik, karena hanya bersumber dari pikiran manusia, Pancasila belum-lah final, masih dapat diubah dan diperdebatkan. Dalam negara yang mayoritas beragama Islam, JAT menyayangkan bukan hukum Islam yang diakui dan digunakan untuk mengelola negara.

4. Kebutuhan Pembangunan
JAT melihat bahwa negara demokrasi tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat. Demokrasi justru telah menjadi penyebab perpecahan, perselisihan dan ketidakadilan. Keadilan dapat diwujudkan manakala umat Islam membangun masyarakat dengan ekonomi Islam yang adil dan merata. Menurut JAT, negara demokrasi menyuburkan ideologi kapitalisme yang materialis. Islam mengajarkan bahwa mereka dan apa yang dimilikinya adalah milik Tuhan. Umat Islam diberi amanat sebagai khalifah untuk mengelola bumi berdasarkan kehendak Tuhan.

Setidaknya faktor-faktor di atas adalah kebutuhan primordial-universal kelompok JAT yang ingin dipenuhi, oleh karena itu selalu mereka perjuangkan setiap saat. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu dapat mengakibatkan ketidak-stabilan sosial, menurut Burton pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan semacam itu  tidak dapat ditawar.

B. Ide untuk Menanggulangi Terorisme
John Burton menyatakan: “Konflik tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata dan juga negosiasi antar-pihak yang bertikai. Resolusi konflik tidak berakhir di meja negosiasi namun merupakan suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia.”
Petikan di atas adalah konsep tentang bagaimana resolusi konflik seharusnya dijalankan. Belajar dari pengalaman penanggulangan terorisme di masa lalu, sesuai dengan konteks waktu dan tantangan zaman, pada awalnya pemerintah berusaha menyelesaikan fenomena itu dengan pendekatan kekuatan bersenjata, pada batasan tertentu pendekatan itu berhasil. Secara fisik terorisme dapat ditekan, akan tetapi ternyata tidak dapat menyelesaikan hingga ke akar persoalan. Misalnya, ketika pemerintah berhasil mengatasi pemberontakan oleh kelompok DI/TII. Secara fisik kekuatan kelompok itu sudah berhasil dieliminasi, akan tetapi tidak demikian secara ideologi. Bahkan, kelompok yang muncul pada awal kemerdekaan juga telah menjadi benih bagi kemunculannya kelompok-kelompok baru yang memiliki ideologi dan cita-cita serupa.

Saud Usman (2015), memberikan penilaian yang menarik sebagai berikut: “Dulu ada DI/TII ada GAM bermacam-macam, tapi tujuannya sama, khilafah. Dari waktu ke waktu, dari era ke era ini berlangsung terus, berbagai upaya pemerintah dalam rangka untuk mengantisipasinya toh belum ada solusi yang tepat. Kita bisa lihat orde lama pendekatan militer gagal, orde baru pendekatan militer gagal....”

Di era reformasi upaya penggunaan kekuatan senjata pun dilakukan, misalnya pada penyergapan di Jantho Aceh, penangkapan terduga teroris atau buron teroris dan peristiwa-peristiwa terbaru lainnya. Pemerintah juga menggunakan kekuatan senjata ketika menangkap terduga teroris perencana bom di Cirebon. Namun, terdapat perbedaan antara penggunaan senjata pada era ini dengan di masa sebelumnya, pendekatan itu digunakan terbatas sebagai upaya penegakan hukum dan pemenuhan keadilan.

Ide untuk menangkal radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu perlu untuk selalu disempurnakan. Munculnya gagasan yang menawarkan penanggulangan terorisme dengan Pendekatan Penyelesaian Masalah(Problem Solving Approach) dengan mengajak kelompok radikal untuk bersama-sama bekerja memenuhi kebutuhan masing-masing, atau memulai suatu proses untuk menciptakan struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, saat ini terdengar masih asing. Namun hal itu tidak-lah mustahil dilakukan sebab konsep deradikalisasi pun pada mulanya juga terdengar asing, seperti yang disampaikan mantan ketua BNPT Saud Usman ketika memperkenalkan konsep deradikalisasi yang disalah-pahami oleh masyarakat Barat. Dalam seminar di Jakarta pada bulan Desember 2015, beliau mengatakan:

"Di era reformasi inilah kita menemukan suatu konsep, yaitu konsep deradikalisasi, akan tidak selesai masalah itu pengalaman kita, tapi harus diikuti dengan bagaimana pendekatan kultur budaya kita ke depan. Itu juga pada awalnya konsep ini kami bawa ke Eropa, di berbagai negara saat itu orang kita (BNPT) dianggap mendukung teroris. Dan kami katakan bahwa kami korban teroris, bisa dikatakan, kita lihat ada akar masalah yang harus diselesaikan tidak semata-mata menganggap teroris, tapi apa sih permasalahannya, apa motivasinya? Pertama dendam, rasa ketidakadilan, kesenjangan sosial, kemiskinan dan dampak-dampak daripada otonomi yang tidak pro-rakyat, ada diskriminasi dan yang ingin membentuk khilafah. Mereka sedikit, tapi diperparah oleh berbagai akar masalah tadi yang belum terselesaikan...."

C. Unsur Budaya Jawa
Agar upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme semakin efektif, diperlukan adanya kaidah fundamental yang sudah teruji untuk menjadi landasannya. Penulis menilai bahwa ada unsur-unsur budaya Jawa layak untuk digunakan sebagai fundamen untuk menangkal faktor penyebab radikalisme dan terorisme. Ahmad Adaby Darban (2004), menuliskan bahwa dalam  budaya Jawa ada beberapa kaidah dasar untuk meredam konflik, yaitu:

1. Prinsip Rukun
Rukun adalah keserasian hubungan sesama manusia secara horizontal dengan upaya mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis, yaitu selaras, tenang, tenteram, bersatu, dan saling membantu. Prinsip ini dapat mengikat masyarakat selalu dalam keadaan harmonis meskipun memiliki perbedaan kebutuhan maupun latar belakang. Kelompok radikal akan sulit lahir dari masyarakat yang rukun.

2. Prinsip Hormat
Prinsip hormat berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam hierarki sosial, yaitu adanya usaha menempatkan orang lain pada kedudukannya (statusnya), seperti misalnya dengan kedua orang tua, guru, kyai, pemimpin dan tokoh yang dihormati. Dalam kehidupan bernegara prinsip hormat dapat berkaitan dengan penghormatan terhadap negaranya. Seseorang yang menghormati bangsa dan negaranya akan timbul nasionalisme. Prinsip hormat juga terkait dengan kemauan menghargai pendapat pihak lain yang berbeda sehingga akan menangkal seseorang dari radikalisme.

3. Tepa Selira
Tepa selira adalah usaha untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menganggu ketenteraman dan perasaan orang lain. Dengan tepa selira orang akan berusaha melakukan tindakan sambil mempertimbangkan perasaan dan posisi psikologis orang lain. Konsep ini berusaha menjaga ketenteraman batin orang lain. Dengan tepa selira, akan timbul kehati-hatian dalam bertindak sehingga tidak akan saling menyakiti.

4. Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah
Artinya kerukunan akan menjadikan kuat, sedangkan konflik akan menjadikan perpecahan. Dalam masyarakat Jawa, konflik adalah perbuatan tercela yang harus dihindari. Sebaliknya kerukunan, kebersamaan, persatuan dan persaudaraan harus diwujudkan untuk membuat kekuatan dalam hidup bermasyarakat. Ungkapan kata ini menunjukkan bahwa kerukunan akan menumbuhkan kekuatan dan persatuan sedangkan pertikaian, konflik akan menimbulkan perpecahan dan kerusakan.

5. Ngalah Gedhe Wekasane
Ungkapan ini artinya adalah mengalah besar penghargaannya. Konsep mengalah (ngalah) tidak berarti kalah, akan tetapi ada kesengajaan tidak mengadakan perlawanan, demi masa depan yang lebih baik atau lebih besar manfaatnya. Apabila pihak-pihak yang berkonflik menyadari besarnya manfaat mengalah tentu tidak akan muncul benih konflik yang bermanifestasi menjadi radikalisme dan terorisme.

6. Aja Dumeh
Ungkapan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang mendapat kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan berbagai kelebihan lain yang akan menjurus ke tingkah laku merugikan. Tingkah laku itu antara lain, sombong, merendahkan orang lain, serta men-zalimi orang lain. Ungkapan ini mirip dengan istilah “adigang-adigung-adiguna” yang tepat ditujukan kepada pemerintah khususnya dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak sewenang-wenang. Tepat pula ditujukan kepada kelompok masyarakat atau ormas agar tidak ingin menang sendiri dan menolak pihak lain.

7. Sing Sabar, Subur
Ungkapan “sing sabar, subur” artinya orang yang sabar akan sejahtera dan selamat sehingga terhindar dari konflik. Tidak boleh gegabah dalam menyelesaikan masalah, tidak boleh atau mengambil jalan pintas melalui prosedur yang tidak benar dalam mengusahakan sesuatu. Berlaku sabar harus dilakukan dengan prosedur yang benar, sehingga akan membuahkan hasil yang baik tanpa menimbulkan benturan.

8. Rembug Bareng
Rembug bareng artinya adalah musyawarah bersama. Dalam memecahkan persoalan atau memutuskan sesuatu terkait kepentingan khalayak, musyawarah mufakat sebaiknya selalu dilakukan. Musyawarah dapat menghasilkan keputusan yang memuaskan sebagian besar warga masyarakat, sehingga dapat meredam kemungkinan munculnya konflik.

Beberapa unsur kebudayaan di atas merupakan prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa yang layak diterapkan sebagai kaidah dasar untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai luhur yang sudah teruji tersebut dapat mendukung proses untuk menciptakan struktur yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga radikalisme dan terorisme dapat diatasi.


Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik

Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Aksi-aksi terorisme di Indonesia telah terjadi sejak lama, bahkan sejak awal kemerdekaan. Hal itu tidak mungkin terjadi tanpa ada problematika yang melatarbelakanginya. Teori Kebutuhan Manusia (John Burton) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk membantu memahami penyebab terorisme. Menurut Burton, manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar stabilitas masyarakat tetap terjaga. Manusia memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berjuang di setiap lingkungan dan kelembagaan pada semua tataran sosial untuk memenuhi kebutuhan primordial-universalnya. Kebutuhan primordial-universal manusia itu adalah keamanan, identitas, pengakuan dan pembangunan. Burton meyakini bahwa untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan itu manusia akan berusaha menguasai lingkungannya terus-menerus dan perjuangan semacam itu tidak dapat dikekang. 

Mengutip Panjaitan (2013), primordialisme adalah adanya ikatan seseorang dalam kehidupan sosial dengan hal-hal yang dibawa sejak awal kelahiran seperti suku bangsa, daerah kelahiran, ikatan klan, dan agama. Jadi, perjuangan primordial berarti usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting manusia yang dipengaruhi unsur-unsur mendasar dalam kehidupan seseorang yang dibawa sejak lahir yang harus dipenuhi dan tidak dapat dinegosiasikan.

Terorisme adalah perwujudan konflik yang dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk agresi. Menurut Teori Frustrasi-Agresi dari Dollard (1939) dan Miller (1941), agresi timbul akibat rasa frustrasi. Frustrasi terjadi karena adanya hambatan dalam meraih tujuan. Jadi, aksi terorisme merupakan salah satu wujud dari pelampiasan rasa frustrasi. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah kebutuhan fundamental, yaitu empat kebutuhan primordial-universal seperti yang disebutkan oleh John Burton. 

Permasalahan pokoknya kemudian adalah kemungkinan bahwa kelompok seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan para pendukungnya menjadi pihak yang kebutuhan primordial universalnya tidak terpenuhi atau terhambat. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan itu, serta terhambatnya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya, maka akan memicu frustrasi dan meledakkan agresi, antara lain dengan ancaman atau aksi terorisme yang melawan hukum, mengganggu stabilitas dan kedamaian negara.

JAT dipersepsi sebagai salah satu representasi utama gerakan organisasi Islam radikal di Indonesia saat ini. Gagasan kelompok JAT menentang ideologi Pancasila dan sistem demokrasi dinilai memicu konflik dan berpotensi menyebabkan perpecahan. Ustadz Abu Bakar Baasyir sebagai tokoh nomor satu JAT sendiri memiliki rangkaian catatan terkait isu seputar pertentangannya dengan pemerintah Orde Baru. JAT beberapa kali dikaitkan dengan aksi dan rencana terorisme. Oleh pemerintah, eksistensi JAT sangat diwaspadai. Pada beberapa kasus yang terjadi misalnya, pelatihan militer (i’dad) di Aceh, peristiwa bom bunuh diri di masjid adz-Dzikra di Mapolres Cirebon dan GBIS Kepunton Solo serta beberapa peristiwa lain, sorotan tajam tertuju kepada kelompok itu, meskipun mereka seringkali menyangkal dikaitkan dengan kasus-kasus terorisme. Kelompok itu berulang-kali menyatakan tidak pernah merestui aksi kekerasan dilakukan di negeri damai seperti di Indonesia. 

Terhadap berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikaitkan dengan anggota (mantan anggota) JAT, pendekatan keras dengan sistem peradilan pidana (criminal-justice system) telah diterapkan dengan baik, mulai dari penyelidikan hingga pemidanaan. Akan tetapi strategi pemerintah yang diharapkan mampu memberi kepastian hukum dan keadilan di tengah masyarakat itu, ternyata belum cukup efektif untuk mengubur ideologi, menghentikan cita-cita seseorang atau suatu kelompok dan menghilangkan faktor-faktor konflik. Dipenjarakannya ketua dan jajaran penting JAT tidak membuat kelompok itu bubar atau menghentikan impiannya menjadikan NKRI berhukum pada syariat Islam, serta memupuskan harapan mereka pada pembentukan khilafah. 

Kenyataan tersebut membuat pemerintah berupaya mengembangkan strategi berbeda untuk menyempurnakan konsep penanggulangan terorisme. Pemerintah ingin menerapkan penanggulangan terorisme secara integratif dan komprehensif, tidak hanya terfokus pada aspek penindakan semata tetapi dipadukan dengan pencegahan. Pendekatan tersebut ialah dengan mengimplementasikan program deradikalisasi. Deradikalisasi adalah upaya mentransformasi ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multidisiplin. Namun, ketika baru saja dimulai, langkah itu telah mendapat tentangan dan kritik dari berbagai kalangan ormas Islam. Ada beberapa alasan di balik penolakan tersebut, yaitu: deradikalisasi dicurigai sebagai gerakan pendangkalan akidah, dapat memecah-belah umat, dan bertujuan untuk melemahkan Islam. Dalam upayanya, BNPT pernah mempertemukan ulama-ulama internasional, dalam negeri dan mantan petinggi kelompok radikal untuk berdialog dengan terpidana terorisme, salah satunya Ustadz Baasyir di Nusakambangan, akan tetapi belum diperoleh hasil yang memuaskan. 

Terkait program itu, tahun 2007 Fakhri Usmita pernah mengatakan bahwa “program deradikalisasi belum memberikan perubahan signifikan dalam penanggulangan terorisme, menurutnya harus dilakukan pendekatan yang lebih segar dalam upaya penanggulangan terorisme.” Kira-kira sepuluh tahun kemudian Ihsan Ali-Fauzi dari Yayasan Paramadina juga mengatakan: “Setelah serangan terorisme terjadi lagi di Jakarta pada pertengahan Januari (2016) lalu, pemerintah, parlemen, dan publik kembali ramai membicarakan deradikalisasi. Tapi, kita tak melangkah cukup jauh. Seperti gasing, kita hanya berputar-putar sambil bergeser sedikit.” 

Dalam rangka memberikan sumbangsih ide untuk menanggulangi terorisme, penulis ingin menyajikan empat prosedur resolusi konflik yang diperkenalkan oleh John Burton. Keseluruhan prosedur apabila dicermati ternyata sangat erat dengan budaya dan kearifan bangsa yang diabadikan dalam Pancasila yaitu musyawarah mufakat. Musyawarah menjadi elemen utama dalam prosedur resolusi konflik, ia dapat menjadi penangkal utama radikalisme dan terorisme.

Empat jenis prosedur resolusi konflik yang diusulkan yaitu: Pencegahan Konflik, Manajemen Konflik, Resolusi Konflik dan Provensi Konflik. Di mana setiap prosedur ditempuh dengan cara mengembangkan upaya fasilitasi, merancang keterlibatan pihak ketiga, dan melakukan perubahan struktural untuk menghilangkan sebab-sebab fundamental konflik. Perubahan struktural dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap potensi terjadinya kekerasan struktural yang ada di dalam sistem. Kekerasan struktural merupakan kekerasan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Kekerasan ini sulit dilihat, tetapi berpengaruh besar terhadap munculnya masalah sosial seperti ketimpangan sumber daya, keadilan, kewenangan dan lain-lain. Berikut adalah catatan penulis terkait empat prosedur resolusi konflik, dikomparasikan dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi terorisme selama ini khususnya terhadap gerakan JAT:

1. Pencegahan Konflik
Upaya pencegahan merupakan strategi utama BNPT dalam merespons fenomena terorisme. BNPT mengembangkannya dengan empat cakupan yaitu, bidang pengawasan, kontra propaganda, penangkalan (deideologisasi) dan kewaspadaan. Program pencegahan BNPT dilakukan dengan mengoordinasi lembaga-lembaga pemerintah untuk ikut bergabung menangkal paham radikal terorisme. Masyarakat sipil termasuk media daring diajak untuk membendung paham radikal di dunia maya. Target utama yang disasar adalah narapidana dan mantan narapidana terorisme, mantan kelompok teroris, keluarga narapidana teroris, individu serta kelompok yang berpotensi terpapar paham radikal.
 
Pada prosedur ini terdapat beberapa temuan, yaitu: dalam programnya, BNPT masih menggunakan model seperti penyuluhan ketika berhadapan dengan kelompok binaan, cara itu menganggap kelompok sasaran masih sebagai orang yang belum tercerahkan atau belum sadar. Daripada melakukan indoktrinasi seperti itu, lebih baik pemerintah berupaya mengembangkan rasa saling memahami dengan warga binaannya. Pemerintah jangan semata-mata mencekoki pengetahuan terhadap warga binaan, sebab upaya membangkitkan pengetahuan mereka lebih diperlukan. Proses deradikalisasi sebaiknya berlangsung dalam kondisi setara antara pemerintah dengan sasaran, dengan menggunakan metode diskusi yang dialogis daripada ceramah yang monologis. Para ulama, mantan teroris dan pihak lain yang menjalankan fungsi deradikalisasi juga harus menjadi bagian dari pihak yang melakukan usaha untuk membantu terselesaikannya konflik. Selain itu pemerintah harus lebih peka terhadap masalah-masalah pokok yang dihadapi binaan. Pemerintah perlu meletakkan fokus membantu sasaran untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti ekonomi keluarga binaan. Dengan diterapkannya gaya baru tersebut, hambatan-hambatan yang dihadapi seperti penolakan dan resistensi diharapkan tidak terjadi lagi.

2. Manajemen Konflik
Kelemahan strategi kombinasi disinyalir karena pilihan yang cenderung menggunakan Manajemen Konflik bertipe kompetisi (competing). Tipe kompetisi membiarkan para pihak yang berkonflik bersaing untuk memenangkan konflik sehingga ada pihak yang kalah dan dikorbankan kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat, lebih besar atau yang lebih berkuasa (zero sum). Manajemen Konflik lebih cenderung memilih menggunakan tipe kolaborasi (collaborating). Di mana pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena bekerja-sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai dan menghasilkan win-win solution.

3. Resolusi Konflik
Cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam menanggulangi terorisme terhadap kelompok radikal cenderung dilakukan menggunakan model dominasi atau supresi. Model dominasi biasanya memiliki dua macam persamaan yaitu, berusaha menekan konflik dan menyelesaikannya dengan memaksa konflik ditenggelamkan dan menimbulkan situasi menang-kalah, di mana salah satu pihak terpaksa mengalah karena otoritas yang lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaannya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, karena itu sikap bermusuhan akan muncul atau tetap ada. Tindakan supresi dan dominasi yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan pemaksaan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Penggunaan strategi penyelesaian konflik dengan mengedepankan model yang bisa memecahkan permasalahan lebih dianjurkan. Dengan metode ini konflik antar kelompok dialihkan kepada situasi pemecahan masalah bersama, yang dapat dilakukan dengan bantuan teknik-teknik pemecahan masalah. Negara dan kelompok radikal sebagai pihak yang berkonflik bersama-sama mencoba menyelesaikan masalah yang timbul antara mereka. Semua pihak tidak berusaha menekan konflik ataupun mencoba mencari kompromi, tetapi secara terbuka bersama-sama mencari alternatif yang dapat diterima oleh semua. 


4. Provensi Konflik 
Prosedur Provensi Konflik menghendaki kondisi-kondisi yang ada dibalik terjadinya fenomena terorisme baik faktor dari dalam maupun luar negeri harus dihilangkan. Misalnya dari pihak JAT adalah dengan menghilangkan kecemasan dan memberi keyakinan bahwa hidup berbangsa dan bernegara dalam naungan NKRI dapat mendukung keselamatan dunia-akhirat apabila mereka menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya sebaik-baiknya. Mengakomodasi pemenuhan kebutuhan identitas yang menghendaki umat Islam di negara mayoritas berpenduduk Islam cukup berperan dalam menentukan kebijakan negara. Memberi tempat yang lebih luas pada penyerapan hukum Islam dalam undang-undang negara (misalnya dalam hukum pidana) dan memperbaiki sistem demokrasi. 

Seluruh prosedur dan prinsip resolusi konflik di atas, dalam setiap tahapannya harus selalu ditempuh dengan musyawarah, kearifan lokal bangsa kita yang sangat berharga.




Kamis, 29 November 2018

Penjelasan atas Undang-Undang Bantuan Hukum (Bagian Umum)

Penjelasan atas Undang-Undang Bantuan Hukum (Bagian Umum)
Oleh: Arif Rudi S

Penulis tertarik untuk mengutip penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Penulis hanya mengutip butir pertama saja, yaitu pada bagian umum. Bagian ini menunjukkan bagaimana negara berusaha menjamin warga negaranya khususnya rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Berikut adalah petikannya: 

“Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.

Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.

Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin.

Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan ketentuan pidana.”

Bagaimana menurut anda, apakah cita-cita dalam undang-undang tersebut sudah dapat diwujudkan di negeri ini? Mungkin belum sepenuhnya, sebab ada indikasi bahwa banyak masyarakat belum mengetahui adanya undang-undang ini, pemerintah masih perlu melakukan sosialisasi yang lebih luas agar lebih banyak lagi pihak yang mendapatkan manfaat dari upaya ini.


Senin, 22 Oktober 2018

MENGENAL PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA


MENGENAL PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A. Pendahuluan
Prospektus menempati peran utama dalam penjualan bisnis waralaba di samping dokumen perjanjian waralaba. Prospektus menjelaskan secara terperinci aspek-aspek yang perlu disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam artikel ini akan dijabarkan beberapa butir saja berbagai hal yang perlu dicantumkan ke dalam sebuah prospektus penawaran waralaba yang baik. Sebuah prospektus sangat berguna untuk membantu penerima waralaba memahami usaha waralaba yang ditawarkan.

Sebelum membicarakan isi prospektus, pada bagian awal prospektus perlu dinyatakan secara tertulis suatu pernyataan yang dimasukkan ke dalam dokumen ini yang ditujukan kepada penerima waralaba, bahwa isi prospektus harus diperiksa secara menyeluruh dan dicocokkan dengan klausula-klausula yang ada dalam dokumen perjanjian waralaba yang juga harus dibuat antara pemberi dan penerima waralaba. Apabila terdapat perbedaan atau ketidaksesuaian antara prospektus dengan perjanjian waralaba, maka yang berlaku adalah perjanjian waralaba bukan prospektus penawaran waralaba. Alasannya adalah karena perjanjian waralaba menjalankan fungsi yang berbeda dengan prospektus. Prospektus berfungsi sebagai dokumen yang memberikan informasi tentang kondisi perusahaan pemberi waralaba dan bisnis yang diwaralabakan kepada penerima waralaba, sedangkan perjanjian waralaba merupakan dokumen yang mengikat pemberi waralaba dan penerima waralaba untuk melaksanakan isi perjanjian waralaba yang telah disetujui pemberi dan penerima waralaba. Jadi terdapat perbedaan signifikan antara prospektus dengan perjanjian waralaba di mana perjanjian waralaba mengikat antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba untuk melaksanakan perjanjian sehingga kedudukan perjanjian waralaba lebih kuat daripada prospektus waralaba. Meskipun demikian, prospektus harus disusun dengan saksama karena prospektus adalah materi dasar dibuatnya perjanjian waralaba disamping juga dipersyaratkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.    

B. Informasi Kepada Calon Penerima Waralaba
Saat ini pemerintah telah menetapkan bisnis waralaba yang diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba dan Peraturan Pemerintah RI No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba mewajibkan pemberi waralaba untuk menyerahkan prospektus kepada penerima waralaba paling singkat 2 (dua) minggu sebelum perjanjian waralaba ditandatangani oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba. Informasi ini dimaksudkan untuk melindungi penerima waralaba dan membantu penerima waralaba agar dapat mengambil keputusan apakah ia akan membeli bisnis waralaba yang ditawarkan ataukah tidak.

Di samping prospektus yang harus dipelajari dengan cermat, perjanjian waralaba juga harus dipahami dengan baik. Perjanjian waralaba merupakan dokumen yang wajib ada dalam bisnis waralaba. Perjanjian waralaba mengatur segala sesuatu terkait hubungan antara pemberi waralaba dan penerima waralaba serta kedua pihak itu dengan pihak lain yang terkait dengan bisnis waralaba. Setelah isi perjanjian waralaba disetujui, maka hubungan hak dan kewajiban para pihak akan dimulai dan mengikat para pihak yang menandatanganinya untuk melaksanakan isi perjanjian itu. Perjanjian waralaba harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi kepentingan para pihak dan para pihak tersebut juga harus mengakomodasi kepentingan pihak lain sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati. Perjanjian waralaba ini juga merupakan dokumen yang wajib dibuat selain faktor kebutuhan pemberi waralaba dan penjual waralaba, akan tetapi juga dipersyaratkan oleh peraturan negara Republik Indonesia

C. Apakah bisnis waralaba itu rumit?
Bisnis waralaba bukanlah bisnis yang sederhana. Ia adalah bisnis yang rumit dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi bisnis ini memberikan keuntungan-keuntungan yang menjanjikan bagi orang-orang yang menekuninya. Bisnis waralaba memerlukan persiapan yang matang sebelum ia dapat dijual kepada para penerima waralaba. Sebelum dijual, sebuah bisnis waralaba harus dipastikan terlebih dahulu bahwa bisnis tersebut harus memiliki prospek yang baik. Bisnis itu harus terbukti memberikan keuntungan bagi pemilik waralaba sebelum dijual kepada para penerima waralaba. Sebuah bisnis yang tidak prospektif atau tidak memberikan keuntungan yang baik bagi pemberi waralaba sulit untuk dapat laku dijual kepada para calon penerima waralaba. Akan tetapi selain terpenuhinya syarat tersebut masih ada syarat-syarat lain yang tentu harus dipenuhi.

D. Proses penjualan waralaba
Apabila sebuah bisnis sudah siap untuk diwaralabakan, artinya bahwa bisnis tersebut sudah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai sebuah bisnis waralaba, maka ada suatu tantangan baru yang harus ditaklukkan oleh pemberi waralaba yaitu bagaimana cara  memasarkan bisnis itu. Bisnis sebagus apa pun, se-prospektif apa pun, apabila tidak dipasarkan dengan baik maka bisnis itu tidak dapat berkembang sebagai sebuah bisnis waralaba yang berhasil. Selain dengan mempromosikan bisnis waralaba dengan cara memberikan produk terbaik kepada konsumennya yang pada akhirnya konsumen puas dan memberikan dampak yang baik bagi citra bisnis waralaba itu, bisnis waralaba dapat pula dipasarkan dengan cara-cara efektif lainnya, salah satunya dengan mengikuti pameran-pameran yang rutin di gelar setiap tahun di kota-kota besar di Indonesia maupun di tempat-tempat baik yang berskala regional maupun internasional. 

E. Waktu yang cukup untuk mempelajari dokumen
Banyak dokumen terkait bisnis waralaba yang harus dipersiapkan oleh penerima waralaba dan beberapa diantaranya harus disiapkan oleh penerima waralaba. Pemberi waralaba harus mempersiapkan dokumen-dokumen terkait perusahaan pemilik waralaba itu dan juga bisnis yang diwaralabakan olehnya. Dokumen-dokumen tersebut selain dipersyaratkan oleh undang-undang juga diperlukan untuk memberikan kepastian dan keyakinan kepada calon penerima waralaba. Dokumen-dokumen tersebut meliputi akta pendirian perusahaan, merek dagang, laporan-laporan keuangan, prospektus penawaran waralaba, perjanjian waralaba, manual operasional waralaba dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh para pihak yang terkait dengan bisnis waralaba.

Pemberi waralaba maupun penerima waralaba perlu untuk saling memahami satu sama lain. Bentuk pemahaman tersebut adalah dapat dimulai dengan saling memeriksa kelengkapan dokumen usaha masing-masing. Pihak pemberi waralaba penting untuk memberikan salinan dokumen-dokumen untuk dipelajari oleh penerima waralaba agar ia memiliki pengetahuan yang cukup tentang bisnis yang akan ia beli. Sedangkan penerima waralaba harus memberikan keyakinan kepada pemberi waralaba bahwa ia dapat mematuhi persyaratan yang diharapkan oleh pemberi waralaba dalam membeli bisnis waralabanya sebab nantinya ia akan menjadi penerima lisensi dagang dari bisnis yang dijual oleh pemberi waralaba. Kegagalan penerima waralaba menjalankan bisnis waralaba yang ia beli dapat bersumber dari kedua belah pihak dan hal itu dapat merusak reputasi bisnis waralaba milik pemberi waralaba secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, pemberi waralaba dan penerima waralaba harus memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari seluruh dokumen yang ada termasuk prospektus penawaran waralaba dan perjanjian waralaba. 

F.            Hak mendapatkan nasihat dari akuntan maupun penasihat hukum  
Calon penerima waralaba berhak untuk mendapatkan nasihat dari ahli-ahli yang diperlukan sebelum membeli bisnis waralaba termasuk nasihat dari akuntan dan dari penasihat hukum. Seorang akuntan memahami tentang seluk beluk laporan keuangan sebuah perusahaan sehingga ia diperlukan untuk menilai kesehatan finansial sebuah bisnis yang akan dijual kepada penerima waralaba. Seorang penasihat hukum dapat memberi nasihat kepada penerima waralaba dari aspek hukum yang antara lain mengenai legalitas perusahaan pemberi waralaba, legalitas bisnis waralaba, keabsahan merek dagang, ada tidaknya permasalahan hukum yang sedang terjadi dan yang berpotensi terjadi di masa depan dan lain sebagainya. Nasihat-nasihat dari akuntan maupun penasihat hukum kepada penerima waralaba tersebut, dapat ditindaklanjuti sehingga terjadi saling pengertian antara pemberi dan penerima waralaba dan dapat menuju tercapainya kesepakatan kerja sama bisnis dengan sistem waralaba. 

G.           Latar Belakang Prospektus penawaran waralaba
Prospektus penawaran waralaba merupakan kondisi nyata pemberi waralaba dan bisnis waralaba yang ditawarkan. Prospektus yang baik adalah prospektus yang dapat mendeskripsikan keseluruhan kondisi pemberi waralaba dan bisnis waralabanya secara jujur dan jelas. Buku ini mencoba untuk menjabarkan kepada pembaca tentang sebuah prospektus yang baik dan lengkap agar pemberi waralaba, penerima waralaba dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan bisnis waralaba dapat mengetahui butir-butir apa saja yang perlu dicantumkan dalam sebuah prospektus yang baik dan benar. Bab ini akan mulai membahas tentang bagian latar belakang yang perlu dicantumkan dalam prospektus.

Bagian latar belakang prospektus adalah bagian yang penting dalam sebuah prospektus. Bagian ini berisi tentang nama pemberi waralaba, keterangan yang menyatakan bahwa apakah pemberi waralaba berstatus sebagai Master Franchisee ataukah tidak, kapan tanggal pemberi waralaba didirikan, dimana alamat resmi pemberi waralaba, apa nama/merek dagang yang digunakan, apa bidang usaha pemberi waralaba, kapan pemberi waralaba mulai mengoperasikan bisnis waralabanya, berapa lama pengalaman bisnis pemberi waralaba dalam bisnis waralaba yang ditawarkan, dan kapan pemberi waralaba mendapatkan pengesahan dari pemerintah sebagai pemberi waralaba. Selanjutnya kita akan membahas satu persatu mengenai keterangan-keterangan yang perlu dicantumkan pada bagian latar belakang prospektus tersebut.

H.           Nama Pemberi Waralaba
Dalam prospektus penawaran waralaba nama perusahaan pemberi waralaba harus dicantumkan agar identitas pemilik bisnis waralaba dapat diketahui oleh penerima waralaba dan pihak-pihak lain yang terkait dengan bisnis waralaba, seperti pemerintah maupun rekan bisnis yang lain. Nama perusahaan pemberi waralaba dapat menjadi faktor yang menunjang keberhasilan penjualan bisnis waralaba. Bonafiditas perusahaan pemberi waralaba akan berpengaruh terhadap eksistensi dan penjualan bisnis waralaba di masa depan. Nama pemberi waralaba biasanya berbeda dengan nama dagang bisnis waralaba. nama pemberi waralaba adalah nama perusahaan yang memiliki bisnis waralaba dan hendak ditawarkan kepada penerima waralaba.

I.             Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee)
Dalam bisnis waralaba dikenal adanya master franchisee atau penerima waralaba utama. Penerima waralaba utama adalah subjek yang menerima hak dari pemberi waralaba untuk membuka dan mengelola bisnis waralaba di suatu wilayah, dan kemudia menjual hak waralaba lanjutan itu kepada penerima waralaba atau calon penerima waralaba lain di dalam lingkup wilayah itu. Penerima waralaba utama bertindak seperti pemberi waralaba khusus untuk suatu wilayah tertentu. Biasanya ia diberi hak untuk membuka gerai usaha waralabanya dan menjual hak waralaba lanjutan dan ia juga memiliki kewajiban dalam membantu kesuksesan para penerima waralaba lanjutan. Dalam perjanjian waralaba umumnya penerima waralaba utama ini diberi target oleh pemberi waralaba. target-target tersebut termasuk dalam mengembangkan jumlah gerai. Di samping itu, penerima waralaba utama itu seringkali juga diberi target untuk memberikan kontribusi pembayaran atas jumlah gerai baru yang harus dibuka di wilayah itu.
Dalam prospektus penawaran waralaba perlu dicantumkan sebuah klausula yang menyatakan bahwa apakah pemberi waralaba merupakan master franchisee atau penerima waralaba utama atau bukan.  Hal ini penting karena terdapat perbedaan prinsipil antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba utama. Pemberi waralaba adalah pemilik merek dagang sekaligus sistem waralaba yang dijual sedangkan penerima waralaba lanjutan tidak memiliki hak atas merek dan sistem waralaba itu selain daripada hak-hak tertentu yang diberikan kepadanya, seperti hak mengembangkan dan mengelola hak waralaba itu di suatu wilayah.

J.            Tanggal pendirian pemberi waralaba
Agar dapat diketahui rekam jejak pemberi waralaba oleh penerima waralaba dan juga pemerintah, tanggal berdirinya perusahaan pemberi waralaba perlu dicantumkan ke dalam prospektus. Tanggal pendirian pemberi waralaba adalah tanggal yang tertulis dalam akta pendirian perusahaan pemberi waralaba. Tanggal pendirian pemberi waralaba tidak harus sama dengan tanggal dimulainya bisnis waralaba. Tanggal berdirinya perusahaan pemberi waralaba seharusnya lebih dahulu daripada tanggal dimulainya bisnis waralaba. Dalam prospektus, tanggal pendirian pemberi waralaba dan tanggal dimulainya unit bisnis waralaba pertama kali perlu dicantumkan untuk menjadi pertimbangan bagi calon penerima waralaba dapat menilai pengalaman pemberi waralaba dalam bidang bisnis itu.

K.           Alamat resmi pemberi waralaba
Alamat resmi pemberi waralaba merupakan salah satu identitas pemberi waralaba yang cukup penting. Alamat resmi dapat menunjukkan eksistensi nyata pemberi waralaba. Kantor pemberi waralaba yang memiliki alamat yang jelas akan dapat memberikan kepercayaan kepada semua pihak. Alamat ini biasanya juga digunakan sebagai alamat korespondensi bisnis di samping penggunaan email yang saat ini sudah lazim. Dengan dicantumkannya alamat resmi di dalam prospektus, dapat menunjukkan bahwa bisnis pemberi waralaba adalah nyata dan ia siap bertanggung-jawab penuh terhadap kesuksesan bisnis waralaba yang ia tawarkan.

L.            Merek Dagang
Merek dagang adalah nama yang diberikan pemberi waralaba kepada bisnis waralabanya. Merek dagang dapat berpengaruh sangat besar dalam menunjang kesuksesan bisnis waralaba. Merek dagang berperang penting sebagai pembeda dengan merek-merek lainnya. Merek dagang harus didaftarkan kepada negara agar dapat secara sah digunakan oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba. Merek dagang dapat mencerminkan reputasi perusahaan. Merek dagang yang sudah dikenal keberhasilannya, akan membuka peluang bagi kemudahan dalam hal pemasaran waralaba.

N.           Bidang Usaha Pemberi Waralaba
Berbagai bidang dapat digeluti dalam bisnis waralaba, dari bisnis kuliner hingga bengkel mobil. Bidang-bidang usaha dalam bisnis waralaba semakin beraneka-ragam. Semakin beragamnya bidang usaha waralaba membuat masyarakat yang tertarik menekuni bisnis waralaba semakin dimudahkan untuk memilih bisnis waralaba yang paling ia minati. Prospektus penawaran waralaba harus dapat menjelaskan kepada calon penerima waralaba tentang bidang usaha pemberi waralaba dengan baik sehingga penerima waralaba dapat mengetahui dengan jelas tentang jenis usaha yang akan ia beli.

O.           Tentang bisnis penerima waralaba
Di muka telah dijelaskan tentang perlunya mencantumkan tanggal pendirian perusahaan pemberi waralaba. Dalam prospektus perlu pula dijelaskan kapan pemberi waralaba telah membuka gerai waralabanya untuk pertama kalinya. Tidak kalah pentingnya untuk secara jujur memberikan informasi tentang nama-nama serta alamat para penerima waralaba yang telah bergabung dengan bisnis pemberi waralaba dan nama-nama penerima waralaba yang telah keluar dari bisnis waralaba ini. Hal tersebut dapat menjadi bahan antisipasi oleh penerima waralaba agar dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebelum memutuskan untuk membeli bisnis waralaba yang ditawarkan. Apabila bisnis waralaba yang ditawarkan adalah bisnis yang baru dibuat maka tuliskan dalam prospektus bahwa pada saat itu belum ada penerima waralaba yang telah bergabung ataupun keluar dari bisnis waralaba yang ditawarkan itu.  

P.           Pengalaman bisnis pemberi waralaba
Mengelola bisnis waralaba diperlukan pengalaman yang cukup. Apabila suatu bisnis telah cukup matang sistemnya dan memiliki merek dagang yang memiliki reputasi baik, maka mungkin bisnis tersebut telah dapat diduplikasikan dan dipasarkan sebagai bisnis waralaba. Pengalaman di bidang bisnis tertentu dengan segala macam tantangan yang telah berhasil di atasi oleh suatu usaha dapat menjadi bekal yang berharga dalam membangun unit usaha yang dapat diwaralabakan. Pengalaman bisnis pemberi waralaba perlu diinformasikan dalam prospektus penawaran waralaba. Pengalaman tersebut dapat menjadi acuan bagi calon penerima waralaba untuk mempelajari potensi keberhasilan waralaba yang ia minati tersebut.


Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (I)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (I)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Advokat adalah profesi yang multitasking, seorang advokat saat ini tidak hanya berfungsi sebagai pembela atau ahli hukum yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar pengadilan saja, akan tetapi dapat juga bertindak sebagai mediator, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mediator adalah perantara (penghubung, penengah).[1] Sedangkan menurut Christopher W. Moore, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, mediator bukan bagian dari salah satu pihak, mediator bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Tugasnya adalah membantu pihak-pihak yang bersengketa agar secara sukarela bersedia mencapai kesepakatan yang diterima oleh masing-masing.[2]

Bersama dengan profesi hakim, advokat seringkali diharapkan dapat mengisi fungsi sebagai mediator karena keduanya dikategorikan profil yang mampu memahami dan menerapkan hukum serta dianggap sebagai sosok yang dapat menjamin pemenuhan keadilan bagi pihak yang bersengketa. Berdasarkan undang-undang tidak hanya hakim dan advokat saja yang dapat bertindak sebagai mediator. Para ahli hukum lain yang berprofesi sebagai dosen juga dapat menjadi mediator, bahkan ahli-ahli selain hukum seperti ahli ekonomi, perbankan, pertambangan dan sebagainya juga diizinkan menjadi mediator.

Latar belakang profesi tentu memengaruhi kinerja seorang mediator dalam menengahi suatu sengketa. Keberhasilan sebuah mediasi sangat ditentukan oleh kemampuan individual mediator itu. Oleh karena itu bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman terkait bidang objek yang dipersengketakan dapat menjadi faktor utama suksesnya proses mediasi bersama dengan keterampilan teknik mediasi itu sendiri.
Beberapa pihak ada yang menganggap bahwa mediator terbaik adalah mereka yang memiliki latar belakang sebagai hakim atau mantan hakim. Mereka dilihat sebagai sosok yang paling arif dan bijaksana, tidak memihak, serta bebas kepentingan. Terlepas dari sistem yang ada dan kecenderungan tidak banyak berubahnya pola penyelesaian perkara di lingkungan peradilan, para hakimlah yang saat ini paling banyak ditunjuk sebagai mediator di pengadilan. Perlu diselidiki lebih lanjut mengenai penyebab para pihak yang berperkara sebagian besar hanya menunjuk hakim pengadilan yang bersangkutan untuk menyelesaikan perkaranya. Ataukah hanya karena tidak diperlukan biaya atas penunjukan itu, atau ada alasan lain yang lebih substansial misalnya karena reputasi hakim yang ditunjuk tersebut diakui karena sering berhasil mendamaikan pihak yang bersengketa.

Profesi hakim yang lekat dengan sifat-sifat seperti kebijaksanaan, kejujuran, keadilan dan sifat-sifat mulia lainnya itu wajar kiranya dijadikan sebagai model panutan bagi para mediator yang berasal dari latar belakang profesi atau keahlian lain. Hakim sebagai profil yang disegani membawa nilai-nilai positif dalam jabatan yang disandangnya. Terdapat sebuah pertanyaan menggelitik terkait hakim sebagai mediator ini: apakah hakim merasa tidak turun pamornya ketika ia seharusnya berposisi sebagai wakil Tuhan untuk memutus perkara akan tetapi dalam proses mediasi ia tidak lebih selain hanya bertindak sebagai penengah saja yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari pihak yang bersengketa?

Selain para hakim seharusnya ahli-ahli senior seperti para guru besar baik di lingkungan ilmu hukum maupun ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi dan bisnis dapat dipromosikan untuk menjadi mediator yang unggul. Para ulama, kyai, ustadz, pendeta dan pemuka-pemuka agama yang lain serta tokoh-tokoh masyarakat/daerah juga berpotensi untuk menjadi mediator-mediator handal baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di pundak merekalah sebenarnya puncak ilmu dan kebijaksanaan tersandang.

Selang beberapa tahun pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, perkembangan mediasi sebagai upaya yang penting dalam penyelesaian sengketa mulai diarusutamakan. Organisasi-organisasi mediator pun bermunculan setelah itu, beberapa diantaranya adalah Pusat Mediasi Nasional (PMN), Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), Badan Mediasi Indonesia (BaMi), Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) dan lain-lain. Organisasi-organisasi mediator itu saat ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya naungan dari induk organisasi yang mewadahi mereka. Tercatat ada 1229 orang mediator yang terdaftar di PMN dengan latar belakang keahlian yang beraneka ragam. Ada praktisi perbankan, auditor, ahli keuangan, akuntan, praktisi properti, asuransi, advokat dan lain sebagainya.[3]

Sebagai profesi yang independen, advokat di satu sisi tampak diuntungkan dengan mengemukanya profesi mediator, dengan terbukanya peluang untuk berperan ganda memegang kartu advokat sekaligus memiliki lisensi mediator. Hal tersebut dipandang secara ekonomi dapat menjanjikan peluang penghasilan yang baru. Namun ada juga di antara advokat yang menganggap mediator sebagai ancaman terhadap stabilitas profesi advokat, sebab apabila banyak perkara yang diselesaikan dengan jalur mediasi maka akan membuat advokat tidak lagi dapat menjalankan fungsinya lebih besar dari sebelumnya karena sebagian besar pekerjaan mereka diambil alih oleh mediator yang berlatar belakang dari berbagai bidang itu.

Saat ini telah mulai banyak advokat yang tertarik dengan mediasi dan telah mencoba mendapatkan lisensi sebagai mediator yang disahkan Mahkamah Agung. Secara berkala organisasi-organisasi mediasi mengadakan pelatihan bagi calon mediator itu sehingga diharapkan hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicu bagi perkembangan mediasi karena mediator-mediator baru selalu lahir seiring dengan dukungan pengalaman dan kualitas yang dimiliki para mediator yang juga berkembang.

Terkait dengan latar belakang mediator yang berpengaruh terhadap kinerjanya dalam menengahi sengketa, Iswahyudi A. Karim, menilai bahwa peran advokat sebagai mediator saat ini payah. Menurutnya hal itu disebabkan sejak di fakultas hukum para calon advokat dididik dan selama praktek advokat terbiasa dengan pola pikir mencari keadilan (ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah); bukan mencari solusi sana senang sini senang.[4] Pola pikir semacam itu tentu saja tidak dapat digeneralisasi terhadap semua advokat-mediator. Seorang advokat yang menjalankan tugas sebagai mediator wajib memerankan fungsinya tersebut dan mengesampingkan profesi advokatnya selama proses mediasi perkara berlangsung. Seiring dengan bertambahnya ilmu, keterampilan dan pengalaman seorang advokat yang menjadi mediator akan meningkat pula kemahirannya dalam bermediasi dan menghasilkan solusi yang adil dan berkualitas bagi pihak yang bersengketa. Advokat sangat diperlukan untuk memajukan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Dengan menjadi mediator, advokat dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kuantitas dan kualitas yang tidak dapat diremehkan. Bila sebagian besar advokat tertarik untuk menjadi mediator, maka akan menambah jumlah mediator di Indonesia secara signifikan dan dapat membantu Mahkamah Agung mengatasi jumlah penumpukan perkara. Advokat dapat ikut mempopulerkan sarana mediasi tersebut dengan mendorong sengketa untuk diselesaikan secara damai dengan musyawarah sehingga menghasilkan keputusan yang sama-sama memenangkan pihak-pihak yang bersengketa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam masyarakat Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan bekerja sama gotong-royong untuk meraih kepentingan bersama yang lebih besar.

Beberapa waktu lalu muncul kabar baik dari Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT) Sri Mamudji. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2005 sekitar 20% perkara perdata yang masuk ke pengadilan telah diselesaikan dengan mediasi. Bahkan hingga tahun 2013 prosentasenya terus mengalami peningkatan. Menurutnya beberapa negara maju seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa lain prosentase penyelesaian sengketa dengan mediasi sangat tinggi yaitu berkisar antara 60-80%. Sebagian besar mereka bermediasi dengan menggunakan mediator independen yang berpraktik di luar pengadilan dan bukan dengan mediator yang terdaftar di pengadilan. Hal itu menunjukan tren positif terhadap kemungkinan perkembangan mediasi di masa depan di Indonesia dan seluruh dunia. Salah satu peluang bagi advokat untuk memasuki profesi sebagai mediator ialah kelangkaan jumlah mediator yang ada saat ini. kelangkaan itu sendiri dinilai sangat menghambat perkembangan profesi mediator. Menurut Sri Mamudji lambatnya perkembangan profesi mediator antara lain karena sedikitnya jumlah mediator bersertifikat yang diakui Mahkamah Agung (MA). Hingga Mei 2013, baru 1.500 mediator non-hakim yang bersertifikat dan sekitar 500 hakim dari 8.000 hakim di seluruh Indonesia memiliki sertifikat sebagai mediator.[5] Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para advokat Indonesia.

Mohammad Noor (Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Mediasi MA), menilai ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan mediasi yaitu itikad tidak baik dari para pihak, peran kuasa hukum, dan penjelasan majelis pemeriksa perkara yang tidak optimal sehingga mengakibatkan para pihak tidak memahami proses mediasi. Perma No. 1 Tahun 2016 ini menekankan adanya itikad baik para pihak untuk menunjang keberhasilan proses mediasi. Menurutnya ide besar Perma yang baru itu adalah agar proses mediasi dilaksanakan dengan dilandasi oleh itikad baik dari para pihak.[6] Bila kita melihat para pihak yang terdapat dalam proses mediasi itu, terbuka peluang bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam mediasi adalah advokat. Para pihak yang bersengketa yang diwakili oleh kuasa hukumnya yang seorang advokat dan juga mediator yang juga memiliki latar belakang sebagai advokat. Proses itu dapat terjadi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Apabila proses mediasi itu dilaksanakan dengan itikad baik maka terbuka adanya solusi yang memenangkan para pihak. Akan tetapi bila dilandasi dengan itikad tidak baik dari para pihak tersebut dapat ditebak mediasi akan sulit memperoleh perdamaian. Beberapa pihak memandang skeptis terhadap peran advokat yang mewakili kliennya dalam proses mediasi. Mereka melihat bahwa advokat tidak mungkin memberikan langkah kontributif terhadap penyelesaian sengketa kliennya melalui mediasi di pengadilan. Sehingga dalam proses mediasi advokat seringkali ditolak baik untuk mewakili atau mendampingi kliennya. Hal itu menunjukkan bahwa adanya itikad baik dan pemahaman yang sama tentang mediasi harus mereka miliki.




[1] http://kbbi.web.id/mediator, 16/04/2017
[2]Pengertian Mediasi, diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html, 16/04/2017
[3] Mediators, diakses dari http://pmn.or.id/pmn/mediators/, 18/04/2017
[4] www.karimsyah.com/imagescontent/article/20050725100707.ppt, 16/04/2017
[5] http://dev.republika.co.id/berita/koran/605564, 16/04/2017
[6]Perma Mediasi 2016 Tekankan Pada Itikad Baik, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik, 16/04/2017

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...