Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
dan Prospeknya
di Indonesia (I)
Oleh: Arif Rudi Setiyawan
Advokat adalah profesi yang multitasking, seorang advokat saat ini tidak
hanya berfungsi sebagai pembela atau ahli hukum yang pekerjaannya mengajukan
dan membela perkara di dalam atau di luar pengadilan saja, akan tetapi dapat
juga bertindak sebagai mediator, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Disebutkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mediator adalah perantara (penghubung, penengah).[1] Sedangkan menurut Christopher
W. Moore, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang
bersengketa, mediator bukan bagian dari salah satu pihak, mediator bersifat
netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Tugasnya
adalah membantu pihak-pihak yang bersengketa agar secara sukarela bersedia
mencapai kesepakatan yang diterima oleh masing-masing.[2]
Bersama dengan profesi hakim,
advokat seringkali diharapkan dapat mengisi fungsi sebagai mediator karena
keduanya dikategorikan profil yang mampu memahami dan menerapkan hukum serta
dianggap sebagai sosok yang dapat menjamin pemenuhan keadilan bagi pihak yang
bersengketa. Berdasarkan undang-undang tidak hanya hakim dan advokat saja yang
dapat bertindak sebagai mediator. Para ahli hukum lain yang berprofesi sebagai
dosen juga dapat menjadi mediator, bahkan ahli-ahli selain hukum seperti ahli
ekonomi, perbankan, pertambangan dan sebagainya juga diizinkan menjadi
mediator.
Latar belakang profesi tentu
memengaruhi kinerja seorang mediator dalam menengahi suatu sengketa.
Keberhasilan sebuah mediasi sangat ditentukan oleh kemampuan individual mediator
itu. Oleh karena itu bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman terkait bidang objek
yang dipersengketakan dapat menjadi faktor utama suksesnya proses mediasi
bersama dengan keterampilan teknik mediasi itu sendiri.
Beberapa pihak ada yang menganggap
bahwa mediator terbaik adalah mereka yang memiliki latar belakang sebagai hakim
atau mantan hakim. Mereka dilihat sebagai sosok yang paling arif dan bijaksana,
tidak memihak, serta bebas kepentingan. Terlepas dari sistem yang ada dan
kecenderungan tidak banyak berubahnya pola penyelesaian perkara di lingkungan
peradilan, para hakimlah yang saat ini paling banyak ditunjuk sebagai mediator
di pengadilan. Perlu diselidiki lebih lanjut mengenai penyebab para pihak yang
berperkara sebagian besar hanya menunjuk hakim pengadilan yang bersangkutan
untuk menyelesaikan perkaranya. Ataukah hanya karena tidak diperlukan biaya
atas penunjukan itu, atau ada alasan lain yang lebih substansial misalnya
karena reputasi hakim yang ditunjuk tersebut diakui karena sering berhasil mendamaikan
pihak yang bersengketa.
Profesi hakim yang lekat dengan
sifat-sifat seperti kebijaksanaan, kejujuran, keadilan dan sifat-sifat mulia
lainnya itu wajar kiranya dijadikan sebagai model panutan bagi para mediator
yang berasal dari latar belakang profesi atau keahlian lain. Hakim sebagai
profil yang disegani membawa nilai-nilai positif dalam jabatan yang
disandangnya. Terdapat sebuah pertanyaan menggelitik terkait hakim sebagai
mediator ini: apakah hakim merasa tidak turun pamornya ketika ia seharusnya
berposisi sebagai wakil Tuhan untuk memutus perkara akan tetapi dalam proses
mediasi ia tidak lebih selain hanya bertindak sebagai penengah saja yang
kedudukannya tidak lebih tinggi dari pihak yang bersengketa?
Selain para hakim seharusnya
ahli-ahli senior seperti para guru besar baik di lingkungan ilmu hukum maupun
ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi dan bisnis dapat dipromosikan untuk menjadi
mediator yang unggul. Para ulama, kyai, ustadz, pendeta dan pemuka-pemuka agama
yang lain serta tokoh-tokoh masyarakat/daerah juga berpotensi untuk menjadi
mediator-mediator handal baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di pundak
merekalah sebenarnya puncak ilmu dan kebijaksanaan tersandang.
Selang beberapa tahun pasca lahirnya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, perkembangan
mediasi sebagai upaya yang penting dalam penyelesaian sengketa mulai
diarusutamakan. Organisasi-organisasi mediator pun bermunculan setelah itu,
beberapa diantaranya adalah Pusat Mediasi Nasional (PMN), Indonesia Institute
for Conflict Transformation (IICT), Badan Mediasi Indonesia (BaMi), Asosiasi
Mediator Indonesia (Amindo) dan lain-lain. Organisasi-organisasi mediator itu
saat ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya naungan dari induk
organisasi yang mewadahi mereka. Tercatat ada 1229 orang mediator yang
terdaftar di PMN dengan latar belakang keahlian yang beraneka ragam. Ada praktisi
perbankan, auditor, ahli keuangan, akuntan, praktisi properti, asuransi, advokat
dan lain sebagainya.[3]
Sebagai profesi yang independen, advokat di satu sisi tampak
diuntungkan dengan mengemukanya profesi mediator, dengan terbukanya peluang
untuk berperan ganda memegang kartu advokat sekaligus memiliki lisensi
mediator. Hal tersebut dipandang secara ekonomi dapat menjanjikan peluang
penghasilan yang baru. Namun ada juga di antara advokat yang menganggap
mediator sebagai ancaman terhadap stabilitas profesi advokat, sebab apabila
banyak perkara yang diselesaikan dengan jalur mediasi maka akan membuat advokat
tidak lagi dapat menjalankan fungsinya lebih besar dari sebelumnya karena
sebagian besar pekerjaan mereka diambil alih oleh mediator yang berlatar
belakang dari berbagai bidang itu.
Saat ini telah mulai banyak advokat
yang tertarik dengan mediasi dan telah mencoba mendapatkan lisensi sebagai
mediator yang disahkan Mahkamah Agung. Secara berkala organisasi-organisasi
mediasi mengadakan pelatihan bagi calon mediator itu sehingga diharapkan hal
tersebut dapat menjadi salah satu pemicu bagi perkembangan mediasi karena mediator-mediator
baru selalu lahir seiring dengan dukungan pengalaman dan kualitas yang dimiliki
para mediator yang juga berkembang.
Terkait dengan latar belakang
mediator yang berpengaruh terhadap kinerjanya dalam menengahi sengketa,
Iswahyudi A. Karim, menilai bahwa peran advokat sebagai mediator saat ini payah. Menurutnya hal itu disebabkan
sejak di fakultas hukum para calon advokat dididik dan selama praktek advokat
terbiasa dengan pola pikir mencari keadilan (ada pihak yang benar dan ada pihak
yang salah); bukan mencari solusi sana senang sini senang.[4]
Pola pikir semacam itu tentu saja tidak dapat digeneralisasi terhadap semua
advokat-mediator. Seorang advokat yang menjalankan tugas sebagai mediator wajib
memerankan fungsinya tersebut dan mengesampingkan profesi advokatnya selama
proses mediasi perkara berlangsung. Seiring dengan bertambahnya ilmu,
keterampilan dan pengalaman seorang advokat yang menjadi mediator akan
meningkat pula kemahirannya dalam bermediasi dan menghasilkan solusi yang adil
dan berkualitas bagi pihak yang bersengketa. Advokat sangat diperlukan untuk
memajukan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Dengan menjadi
mediator, advokat dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kuantitas dan
kualitas yang tidak dapat diremehkan. Bila sebagian besar advokat tertarik
untuk menjadi mediator, maka akan menambah jumlah mediator di Indonesia secara
signifikan dan dapat membantu Mahkamah Agung mengatasi jumlah penumpukan
perkara. Advokat dapat ikut mempopulerkan sarana mediasi tersebut dengan
mendorong sengketa untuk diselesaikan secara damai dengan musyawarah sehingga
menghasilkan keputusan yang sama-sama memenangkan pihak-pihak yang bersengketa
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam masyarakat Indonesia yang
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan bekerja sama gotong-royong untuk
meraih kepentingan bersama yang lebih besar.
Beberapa waktu lalu muncul kabar baik
dari Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT)
Sri Mamudji. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2005 sekitar 20% perkara perdata yang
masuk ke pengadilan telah diselesaikan dengan mediasi. Bahkan hingga tahun 2013
prosentasenya terus mengalami peningkatan. Menurutnya beberapa negara maju seperti
Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa lain prosentase penyelesaian
sengketa dengan mediasi sangat tinggi yaitu berkisar antara 60-80%. Sebagian
besar mereka bermediasi dengan menggunakan mediator independen yang berpraktik
di luar pengadilan dan bukan dengan mediator yang terdaftar di pengadilan. Hal
itu menunjukan tren positif terhadap kemungkinan perkembangan mediasi di masa
depan di Indonesia dan seluruh dunia. Salah satu peluang bagi advokat untuk
memasuki profesi sebagai mediator ialah kelangkaan jumlah mediator yang ada
saat ini. kelangkaan itu sendiri dinilai sangat menghambat perkembangan profesi
mediator. Menurut Sri Mamudji lambatnya perkembangan profesi mediator antara
lain karena sedikitnya jumlah mediator bersertifikat yang diakui Mahkamah Agung
(MA). Hingga Mei 2013, baru 1.500 mediator non-hakim yang bersertifikat dan
sekitar 500 hakim dari 8.000 hakim di seluruh Indonesia memiliki sertifikat
sebagai mediator.[5]
Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para advokat Indonesia.
Mohammad Noor (Anggota
Kelompok Kerja (Pokja) Mediasi MA), menilai ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan
mediasi yaitu itikad tidak baik dari para pihak, peran kuasa hukum, dan
penjelasan majelis pemeriksa perkara yang tidak optimal sehingga mengakibatkan
para pihak tidak memahami proses mediasi. Perma No. 1 Tahun 2016 ini menekankan
adanya itikad baik para pihak untuk menunjang keberhasilan proses mediasi. Menurutnya
ide besar Perma yang baru itu adalah agar proses mediasi dilaksanakan dengan
dilandasi oleh itikad baik dari para pihak.[6]
Bila kita melihat para pihak yang terdapat dalam proses mediasi itu, terbuka
peluang bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam mediasi adalah advokat. Para
pihak yang bersengketa yang diwakili oleh kuasa hukumnya yang seorang advokat
dan juga mediator yang juga memiliki latar belakang sebagai advokat. Proses itu
dapat terjadi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Apabila
proses mediasi itu dilaksanakan dengan itikad baik maka terbuka adanya solusi
yang memenangkan para pihak. Akan tetapi bila dilandasi dengan itikad tidak
baik dari para pihak tersebut dapat ditebak mediasi akan sulit memperoleh
perdamaian. Beberapa pihak memandang skeptis terhadap peran advokat yang mewakili
kliennya dalam proses mediasi. Mereka melihat bahwa advokat tidak mungkin
memberikan langkah kontributif terhadap penyelesaian sengketa kliennya melalui
mediasi di pengadilan. Sehingga dalam proses mediasi advokat seringkali ditolak
baik untuk mewakili atau mendampingi kliennya. Hal itu menunjukkan bahwa adanya
itikad baik dan pemahaman yang sama tentang mediasi harus mereka miliki.
[1] http://kbbi.web.id/mediator,
16/04/2017
[2]Pengertian
Mediasi, diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html,
16/04/2017
[3]
Mediators, diakses dari http://pmn.or.id/pmn/mediators/, 18/04/2017
[4] www.karimsyah.com/imagescontent/article/20050725100707.ppt,
16/04/2017
[5] http://dev.republika.co.id/berita/koran/605564,
16/04/2017
[6]Perma
Mediasi 2016 Tekankan Pada Itikad Baik, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik,
16/04/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar