Senin, 22 Oktober 2018

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (I)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (I)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Advokat adalah profesi yang multitasking, seorang advokat saat ini tidak hanya berfungsi sebagai pembela atau ahli hukum yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar pengadilan saja, akan tetapi dapat juga bertindak sebagai mediator, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mediator adalah perantara (penghubung, penengah).[1] Sedangkan menurut Christopher W. Moore, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, mediator bukan bagian dari salah satu pihak, mediator bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Tugasnya adalah membantu pihak-pihak yang bersengketa agar secara sukarela bersedia mencapai kesepakatan yang diterima oleh masing-masing.[2]

Bersama dengan profesi hakim, advokat seringkali diharapkan dapat mengisi fungsi sebagai mediator karena keduanya dikategorikan profil yang mampu memahami dan menerapkan hukum serta dianggap sebagai sosok yang dapat menjamin pemenuhan keadilan bagi pihak yang bersengketa. Berdasarkan undang-undang tidak hanya hakim dan advokat saja yang dapat bertindak sebagai mediator. Para ahli hukum lain yang berprofesi sebagai dosen juga dapat menjadi mediator, bahkan ahli-ahli selain hukum seperti ahli ekonomi, perbankan, pertambangan dan sebagainya juga diizinkan menjadi mediator.

Latar belakang profesi tentu memengaruhi kinerja seorang mediator dalam menengahi suatu sengketa. Keberhasilan sebuah mediasi sangat ditentukan oleh kemampuan individual mediator itu. Oleh karena itu bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman terkait bidang objek yang dipersengketakan dapat menjadi faktor utama suksesnya proses mediasi bersama dengan keterampilan teknik mediasi itu sendiri.
Beberapa pihak ada yang menganggap bahwa mediator terbaik adalah mereka yang memiliki latar belakang sebagai hakim atau mantan hakim. Mereka dilihat sebagai sosok yang paling arif dan bijaksana, tidak memihak, serta bebas kepentingan. Terlepas dari sistem yang ada dan kecenderungan tidak banyak berubahnya pola penyelesaian perkara di lingkungan peradilan, para hakimlah yang saat ini paling banyak ditunjuk sebagai mediator di pengadilan. Perlu diselidiki lebih lanjut mengenai penyebab para pihak yang berperkara sebagian besar hanya menunjuk hakim pengadilan yang bersangkutan untuk menyelesaikan perkaranya. Ataukah hanya karena tidak diperlukan biaya atas penunjukan itu, atau ada alasan lain yang lebih substansial misalnya karena reputasi hakim yang ditunjuk tersebut diakui karena sering berhasil mendamaikan pihak yang bersengketa.

Profesi hakim yang lekat dengan sifat-sifat seperti kebijaksanaan, kejujuran, keadilan dan sifat-sifat mulia lainnya itu wajar kiranya dijadikan sebagai model panutan bagi para mediator yang berasal dari latar belakang profesi atau keahlian lain. Hakim sebagai profil yang disegani membawa nilai-nilai positif dalam jabatan yang disandangnya. Terdapat sebuah pertanyaan menggelitik terkait hakim sebagai mediator ini: apakah hakim merasa tidak turun pamornya ketika ia seharusnya berposisi sebagai wakil Tuhan untuk memutus perkara akan tetapi dalam proses mediasi ia tidak lebih selain hanya bertindak sebagai penengah saja yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari pihak yang bersengketa?

Selain para hakim seharusnya ahli-ahli senior seperti para guru besar baik di lingkungan ilmu hukum maupun ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi dan bisnis dapat dipromosikan untuk menjadi mediator yang unggul. Para ulama, kyai, ustadz, pendeta dan pemuka-pemuka agama yang lain serta tokoh-tokoh masyarakat/daerah juga berpotensi untuk menjadi mediator-mediator handal baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di pundak merekalah sebenarnya puncak ilmu dan kebijaksanaan tersandang.

Selang beberapa tahun pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, perkembangan mediasi sebagai upaya yang penting dalam penyelesaian sengketa mulai diarusutamakan. Organisasi-organisasi mediator pun bermunculan setelah itu, beberapa diantaranya adalah Pusat Mediasi Nasional (PMN), Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), Badan Mediasi Indonesia (BaMi), Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) dan lain-lain. Organisasi-organisasi mediator itu saat ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya naungan dari induk organisasi yang mewadahi mereka. Tercatat ada 1229 orang mediator yang terdaftar di PMN dengan latar belakang keahlian yang beraneka ragam. Ada praktisi perbankan, auditor, ahli keuangan, akuntan, praktisi properti, asuransi, advokat dan lain sebagainya.[3]

Sebagai profesi yang independen, advokat di satu sisi tampak diuntungkan dengan mengemukanya profesi mediator, dengan terbukanya peluang untuk berperan ganda memegang kartu advokat sekaligus memiliki lisensi mediator. Hal tersebut dipandang secara ekonomi dapat menjanjikan peluang penghasilan yang baru. Namun ada juga di antara advokat yang menganggap mediator sebagai ancaman terhadap stabilitas profesi advokat, sebab apabila banyak perkara yang diselesaikan dengan jalur mediasi maka akan membuat advokat tidak lagi dapat menjalankan fungsinya lebih besar dari sebelumnya karena sebagian besar pekerjaan mereka diambil alih oleh mediator yang berlatar belakang dari berbagai bidang itu.

Saat ini telah mulai banyak advokat yang tertarik dengan mediasi dan telah mencoba mendapatkan lisensi sebagai mediator yang disahkan Mahkamah Agung. Secara berkala organisasi-organisasi mediasi mengadakan pelatihan bagi calon mediator itu sehingga diharapkan hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicu bagi perkembangan mediasi karena mediator-mediator baru selalu lahir seiring dengan dukungan pengalaman dan kualitas yang dimiliki para mediator yang juga berkembang.

Terkait dengan latar belakang mediator yang berpengaruh terhadap kinerjanya dalam menengahi sengketa, Iswahyudi A. Karim, menilai bahwa peran advokat sebagai mediator saat ini payah. Menurutnya hal itu disebabkan sejak di fakultas hukum para calon advokat dididik dan selama praktek advokat terbiasa dengan pola pikir mencari keadilan (ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah); bukan mencari solusi sana senang sini senang.[4] Pola pikir semacam itu tentu saja tidak dapat digeneralisasi terhadap semua advokat-mediator. Seorang advokat yang menjalankan tugas sebagai mediator wajib memerankan fungsinya tersebut dan mengesampingkan profesi advokatnya selama proses mediasi perkara berlangsung. Seiring dengan bertambahnya ilmu, keterampilan dan pengalaman seorang advokat yang menjadi mediator akan meningkat pula kemahirannya dalam bermediasi dan menghasilkan solusi yang adil dan berkualitas bagi pihak yang bersengketa. Advokat sangat diperlukan untuk memajukan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Dengan menjadi mediator, advokat dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kuantitas dan kualitas yang tidak dapat diremehkan. Bila sebagian besar advokat tertarik untuk menjadi mediator, maka akan menambah jumlah mediator di Indonesia secara signifikan dan dapat membantu Mahkamah Agung mengatasi jumlah penumpukan perkara. Advokat dapat ikut mempopulerkan sarana mediasi tersebut dengan mendorong sengketa untuk diselesaikan secara damai dengan musyawarah sehingga menghasilkan keputusan yang sama-sama memenangkan pihak-pihak yang bersengketa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam masyarakat Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan bekerja sama gotong-royong untuk meraih kepentingan bersama yang lebih besar.

Beberapa waktu lalu muncul kabar baik dari Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT) Sri Mamudji. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2005 sekitar 20% perkara perdata yang masuk ke pengadilan telah diselesaikan dengan mediasi. Bahkan hingga tahun 2013 prosentasenya terus mengalami peningkatan. Menurutnya beberapa negara maju seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa lain prosentase penyelesaian sengketa dengan mediasi sangat tinggi yaitu berkisar antara 60-80%. Sebagian besar mereka bermediasi dengan menggunakan mediator independen yang berpraktik di luar pengadilan dan bukan dengan mediator yang terdaftar di pengadilan. Hal itu menunjukan tren positif terhadap kemungkinan perkembangan mediasi di masa depan di Indonesia dan seluruh dunia. Salah satu peluang bagi advokat untuk memasuki profesi sebagai mediator ialah kelangkaan jumlah mediator yang ada saat ini. kelangkaan itu sendiri dinilai sangat menghambat perkembangan profesi mediator. Menurut Sri Mamudji lambatnya perkembangan profesi mediator antara lain karena sedikitnya jumlah mediator bersertifikat yang diakui Mahkamah Agung (MA). Hingga Mei 2013, baru 1.500 mediator non-hakim yang bersertifikat dan sekitar 500 hakim dari 8.000 hakim di seluruh Indonesia memiliki sertifikat sebagai mediator.[5] Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para advokat Indonesia.

Mohammad Noor (Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Mediasi MA), menilai ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan mediasi yaitu itikad tidak baik dari para pihak, peran kuasa hukum, dan penjelasan majelis pemeriksa perkara yang tidak optimal sehingga mengakibatkan para pihak tidak memahami proses mediasi. Perma No. 1 Tahun 2016 ini menekankan adanya itikad baik para pihak untuk menunjang keberhasilan proses mediasi. Menurutnya ide besar Perma yang baru itu adalah agar proses mediasi dilaksanakan dengan dilandasi oleh itikad baik dari para pihak.[6] Bila kita melihat para pihak yang terdapat dalam proses mediasi itu, terbuka peluang bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam mediasi adalah advokat. Para pihak yang bersengketa yang diwakili oleh kuasa hukumnya yang seorang advokat dan juga mediator yang juga memiliki latar belakang sebagai advokat. Proses itu dapat terjadi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Apabila proses mediasi itu dilaksanakan dengan itikad baik maka terbuka adanya solusi yang memenangkan para pihak. Akan tetapi bila dilandasi dengan itikad tidak baik dari para pihak tersebut dapat ditebak mediasi akan sulit memperoleh perdamaian. Beberapa pihak memandang skeptis terhadap peran advokat yang mewakili kliennya dalam proses mediasi. Mereka melihat bahwa advokat tidak mungkin memberikan langkah kontributif terhadap penyelesaian sengketa kliennya melalui mediasi di pengadilan. Sehingga dalam proses mediasi advokat seringkali ditolak baik untuk mewakili atau mendampingi kliennya. Hal itu menunjukkan bahwa adanya itikad baik dan pemahaman yang sama tentang mediasi harus mereka miliki.




[1] http://kbbi.web.id/mediator, 16/04/2017
[2]Pengertian Mediasi, diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html, 16/04/2017
[3] Mediators, diakses dari http://pmn.or.id/pmn/mediators/, 18/04/2017
[4] www.karimsyah.com/imagescontent/article/20050725100707.ppt, 16/04/2017
[5] http://dev.republika.co.id/berita/koran/605564, 16/04/2017
[6]Perma Mediasi 2016 Tekankan Pada Itikad Baik, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik, 16/04/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...