Senin, 22 Oktober 2018

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (II)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (II)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A.        Sejarah Perkembangan Mediasi
Teknik mediasi sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa telah berkembang sejak lama baik di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) maupun Timur seperti Jepang dan China. Setidaknya Terdapat dua hal yang menjadi latar belakang lahirnya penyelesaian sengketa alternatif tersebut, yaitu karena alasan praktis dan alasan faktor kebudayaan mereka. Alasan praktis karena di negara-negara tersebut pengadilan juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang mendasar. Kelemahan-kelemahan itu adalah memakan waktu yang lama, berbiaya mahal dan merenggangkan hubungan pihak yang bersengketa. Selain itu di beberapa negara pengadilan dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah sehingga ia tidak independen, tidak bersih dan putusan-putusannya memihak/tidak adil. Faktor kebudayaan seperti yang terjadi di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Demikian pula di China telah lama mengenal mediasi yang sejalan dengan kultur masyarakat china yang tidak suka pada pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Alasan-alasan kebudayaan tersebut menyebabkan masyarakat mengesampingkan pengadilan karena anggapan bahwa pengadilan adalah tempat bagi orang-orang yang tidak patuh hukum.[1]

Di AS penyelesaian sengketa alternatif telah dimulai sejak tahun 1960-an yang dipicu oleh efek negatif litigasi. Hingga sekarang perkembangan alternatif penyelesaian sengketa di AS berlangsung pesat karena didukung oleh masyarakat dan lembaga peradilan formal. pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS dilatar-belakangi oleh kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:
1.    Untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan
2.    Meningkatkan keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
3.    Untuk memperlancar serta memperluas akses keadilan
4. Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang   menghasilkan kepuasan yang dapat diterima dan memuaskan semua pihak. [2]

Pancasila sebagai dasar filosofi  masyarakat Indonesia telah memberikan petunjuk asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, demikian juga UUD 1945. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 4 menyatakan, "Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan" selanjutnya Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa "ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian". Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 akan tetapi undang-undang tersebut juga memiliki kelemahan karena tidak mengatur secara lengkap bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali tentang arbitrase.[3]

Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah tradisi dari masyarakat Indonesia, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa Amerika Serikat didesain untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan. Saat ini penyelesaian sengketa ADR di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan karena sesuai dengan budaya bangsa dan menguntungkan para pihak.[4]

B.        Mediasi dan Advokat
Terdapat sebuah ketentuan yang mengesahkan dilakukannya mediasi di Indonesia yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: ”Dalam hal sengketa atau beda pendapat setelah diadakan pertemuan langsung oleh para pihak (negosiasi) dalam 14 (empat belas) hari juga tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.” Ketentuan tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa hanya sengketa atau beda pendapat yang dilakukan di pengadilan saja yang dapat diselesaikan dengan bantuan penasihat ahli atau mediator, akan tetapi sengketa-sengketa di luar pengadilan juga dapat meminta bantuan pihak ketiga yang netral tersebut. 

Banyak definisi tentang mediasi, salah satunya berasal dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. MAPPI menyatakan bahwa secara umum, mediasi merupakan suatu bentuk dari Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Menurut MAPPI Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat dan murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan.[5] Definisi tentang mediator salah satunya dimuat dalam jaringan artikata.com, menyebutkan dua buah batasan sebagai berikut:
1.  a negotiator who acts as a link between parties
2. one who mediates; especially, one who interposes between parties at                          variance for the purpose of reconciling them; hence, an intercessor.[6]
Batasan tersebut menunjukkan bahwa seorang mediator adalah seorang negosiator yang bertindak sebagai penghubung di antara para pihak yang bersengketa. Mediator bertindak sebagai penengah bagi para pihak yang bersengketa menjadi perantara agar terjadi perdamaian di antara mereka.

Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menyelami sebuah profesi kombinasi, yaitu mediator yang juga sekaligus sebagai advokat. Bahwa pada suatu perkara seorang advokat dapat menjalankan tugasnya sebagai advokat yang berpihak pada kepentingan kliennya dan pada perkara lain ia berperan sebagai seorang mediator yang netral. Lebih jauh penulis ingin melihat praktik realitas mediator-advokat saat ini di Indonesia dan apa yang bisa dikembangkan di masa depan.

Istilah advokat berasal dari bahasa latin yaitu advocare, artinya to defend (mempertahankan), to call to ones said (memanggil seseorang untuk mengatakan sesuatu), to vouch or to warrant (menjamin). Dalam bahasa Inggris, pengertian advokat diungkapakan dengan kata advocate, yang berarti: to defend by argument (mempertahankan dengan argumentasi), to support (mendukung), indicate or recommend publicly (menandai adanya atau merekomendasikan di depan umum). Sedangkan dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.[7] Undang-Undang Advokat tersebut juga tidak melarang seorang advokat untuk juga memiliki lisensi sebagai mediator.[8]

C. Mediasi sebagai Bagian Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mediasi merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Menurut Priyatna Abdurrasyid, APS dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.[9] Salah satu motivasi APS adalah pemberdayaan individu atau dapat dikatakan bahwa motivasi pemanfaatan APS  sebagai prinsip pemecahan masalah dengan bekerja-sama. Menurut Priyatna Abdurrasid ada dua alasan yang mendasari APS dikatakan dapat mencapai hasil yang lebih baik daripada sistem pengadilan yaitu yang pertama, jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang tatacara/prosedur khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah. Kedua, mediasi dan bentuk APS lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan sehingga menurut Abdurrasyid APS tidak dapat lagi disebut cara penyelesaian perselisihan yang bersifat alternatif.[10]

Abdurrasyid menyebutkan bahwa negosiasi merupakan mekanisme utama dan diberi prioritas dalam alternatif penyelesaian sengketa. Negosiasi merupakan cara individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka sehari-hari. Negosiasi adaah proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan.[11]

Lebih lanjut Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independen untuk bertindak sebagai mediator-penengah, akan tetapi tidak diberi wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat. Mediasi dilakukan dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik dan keterampilan membantu para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan. Mediator juga merupakan seorang fasilitator yang dalam beberapa bentuk mediasi memberikan evaluasi yang tidak mengikat mengenai nilai perselisihan jika diperlukan, tetapi tidak diberi wewenang membuat keputusan yang mengikat.[12]

3. Ketertarikan Advokat untuk Menjadi Mediator

Profesi advokat saat ini berkembang dengan sangat pesat baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas advokat saat ini semakin banyak dengan dilantiknya sekitar lima-ribuan advokat setiap tahunnya oleh organisasi advokat. Secara kualitas saat ini banyak advokat yang sudah tidak lagi bercorak generalis. Mereka telah mengembangkan ilmu dan keterampilan mereka ke bidang-bidang kekhususan tertentu. Hal itu menjadi salah satu aspek pembeda di antara mereka dengan advokat-advokat lain untuk menunjang kesuksesan mereka. Tuntutan pengembangan kualitas advokat itu antara lain terjadi disebabkan oleh perkembangan bisnis internasional, persaingan antara advokat, serta minat dan idealisme advokat itu sendiri. Banyak advokat yang fokus di bidang pasar modal, asuransi, pertambangan, perbankan, kepailitan, hukum keluarga, pertanahan, tenaga kerja dan lain sebagainya. Sehingga mereka menjadi terbiasa dan ahli menangani perkara-perkara spesifik terkait dengan fokusnya tersebut. Dengan modal besar itu, advokat dapat menjadi elemen penting bagi dinamika proses mediasi di Indonesia.

Terkait dengan hal di atas, ada beberapa permasalahan yang relevan saat ini mengemuka yaitu: apakah para advokat saat ini memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang mediator? adakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mendorong advokat Indonesia agar melihat mediasi sebagai sarana utama dalam menyelesaikan sengketa di dalam maupun di luar pengadilan? Masihkah para advokat menilai mediator sebagai pesaing yang berpotensi merebut lahan pekerjaan mereka ataukah sebagai  mitra? Bagaimanakah dinamika dan peran advokat berlisensi mediator dalam menjalankan tugasnya dalam bidang mediasi saat ini dan bagaimana proyeksi masa depan peran kombinasi profesi advokat-mediator itu dalam proses-proses mediasi di Indonesia?




[1] https://abdulhakimsiagian.files.wordpress.com/2014/11/alternatif.pdf, 18/04/2017
[2] ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html, 16/04/2017
[6] https://www.artikata.com/arti-114946-mediator.html, 16/04/2017
[7] http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-advokat-menurut-bahasa-dan.html, 16/04/2017
[8] Aturan Benturan Kepentingan Mediator yang Berprofesi Advokat, diakses darihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3529/aturan-benturan-kepentingan-mediator-yang-berprofesi-advokat, 16/04/2017
[9] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm 17
[10] ibid
[11] ibid
[12] ibid
[13] Peran Advokat Menyelesaikan Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan, diakses dari http://www.kompasiana.com/van-elkindy/peran-advokat-menyelesaikan-sengketa-melalui-mediasi-di-pengadilan, 16/04/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...