Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
dan Prospeknya
di Indonesia (II)
Oleh: Arif Rudi Setiyawan
A. Sejarah Perkembangan Mediasi
Teknik mediasi sebagai bagian dari alternatif
penyelesaian sengketa telah berkembang sejak lama baik di negara-negara Barat
seperti Amerika Serikat (AS) maupun Timur seperti Jepang dan China. Setidaknya
Terdapat dua hal yang menjadi latar belakang lahirnya penyelesaian sengketa
alternatif tersebut, yaitu karena alasan praktis dan alasan faktor kebudayaan
mereka. Alasan praktis karena di negara-negara tersebut pengadilan juga
memiliki kelemahan-kelemahannya yang mendasar. Kelemahan-kelemahan itu adalah
memakan waktu yang lama, berbiaya mahal dan merenggangkan hubungan pihak yang
bersengketa. Selain itu di beberapa negara pengadilan dianggap sebagai perpanjangan
tangan pemerintah sehingga ia tidak independen, tidak bersih dan putusan-putusannya
memihak/tidak adil. Faktor kebudayaan seperti yang terjadi di Jepang pada zaman
Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei)
sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Demikian pula di China telah lama
mengenal mediasi yang sejalan dengan kultur masyarakat china yang tidak suka
pada pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Alasan-alasan kebudayaan
tersebut menyebabkan masyarakat mengesampingkan pengadilan karena anggapan
bahwa pengadilan adalah tempat bagi orang-orang yang tidak patuh hukum.[1]
Di AS penyelesaian sengketa alternatif telah
dimulai sejak tahun 1960-an yang dipicu oleh efek negatif litigasi. Hingga
sekarang perkembangan alternatif penyelesaian sengketa di AS berlangsung pesat
karena didukung oleh masyarakat dan lembaga peradilan formal. pengembangan
penyelesaian sengketa alternatif di AS dilatar-belakangi oleh kebutuhan-kebutuhan
sebagai berikut:
1. Untuk
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan
2. Meningkatkan
keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
3. Untuk memperlancar serta memperluas akses
keadilan
4. Untuk
memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan kepuasan yang dapat diterima dan
memuaskan semua pihak. [2]
Pancasila sebagai dasar filosofi masyarakat Indonesia telah memberikan
petunjuk asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, demikian
juga UUD 1945. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 4 menyatakan, "Penyelesaian perkara di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap
diperbolehkan" selanjutnya Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa
"ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian". Undang-undang yang mengatur
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang berlaku saat ini adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 akan tetapi undang-undang tersebut juga
memiliki kelemahan karena tidak mengatur secara lengkap bentuk-bentuk
alternatif penyelesaian sengketa kecuali tentang arbitrase.[3]
Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa
di Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai latar belakang historis yang
berbeda. Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah tradisi dari
masyarakat Indonesia, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa Amerika
Serikat didesain untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan. Saat ini
penyelesaian sengketa ADR di Indonesia telah mengalami perkembangan yang
signifikan karena sesuai dengan budaya bangsa dan menguntungkan para pihak.[4]
B. Mediasi
dan Advokat
Terdapat
sebuah ketentuan yang mengesahkan dilakukannya mediasi di Indonesia yaitu
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: ”Dalam hal sengketa atau beda pendapat
setelah diadakan pertemuan langsung oleh para pihak (negosiasi) dalam 14 (empat
belas) hari juga tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.” Ketentuan tersebut tidak
secara eksplisit menyatakan bahwa hanya sengketa atau beda pendapat yang
dilakukan di pengadilan saja yang dapat diselesaikan dengan bantuan penasihat
ahli atau mediator, akan tetapi sengketa-sengketa di luar pengadilan juga dapat
meminta bantuan pihak ketiga yang netral tersebut.
Banyak definisi tentang mediasi, salah
satunya berasal dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. MAPPI menyatakan bahwa secara umum, mediasi merupakan suatu
bentuk dari Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Menurut MAPPI Penyebutan
alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan alternatif
penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat
dan murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh
keadilan atau penyelesaian yang memuaskan.[5] Definisi tentang mediator salah satunya
dimuat dalam jaringan artikata.com, menyebutkan dua buah batasan sebagai
berikut:
1. a
negotiator who acts as a link between parties
2. one
who mediates; especially, one who interposes between parties at variance
for the purpose of reconciling them; hence, an intercessor.[6]
Batasan
tersebut menunjukkan bahwa seorang mediator adalah seorang negosiator yang
bertindak sebagai penghubung di antara para pihak yang bersengketa. Mediator
bertindak sebagai penengah bagi para pihak yang bersengketa menjadi perantara
agar terjadi perdamaian di antara mereka.
Dalam
tulisan ini penulis mencoba untuk menyelami sebuah profesi kombinasi, yaitu mediator
yang juga sekaligus sebagai advokat. Bahwa pada suatu perkara seorang advokat
dapat menjalankan tugasnya sebagai advokat yang berpihak pada kepentingan
kliennya dan pada perkara lain ia berperan sebagai seorang mediator yang
netral. Lebih jauh penulis ingin melihat praktik realitas mediator-advokat saat
ini di Indonesia dan apa yang bisa dikembangkan di masa depan.
Istilah
advokat berasal dari bahasa latin yaitu advocare,
artinya to defend (mempertahankan), to call to ones said (memanggil seseorang
untuk mengatakan sesuatu), to vouch or to
warrant (menjamin). Dalam bahasa Inggris, pengertian advokat diungkapakan
dengan kata advocate, yang berarti: to defend by argument (mempertahankan
dengan argumentasi), to support
(mendukung), indicate or recommend
publicly (menandai adanya atau merekomendasikan di depan umum). Sedangkan
dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli
hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar
sidang pengadilan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang ini.[7] Undang-Undang Advokat tersebut juga tidak melarang
seorang advokat untuk juga memiliki lisensi sebagai mediator.[8]
C.
Mediasi sebagai Bagian Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mediasi
merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Menurut Priyatna
Abdurrasyid, APS dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau
mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara
penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase agar memperoleh putusan
akhir dan mengikat para pihak.[9]
Salah satu motivasi APS adalah pemberdayaan individu atau dapat dikatakan bahwa
motivasi pemanfaatan APS sebagai prinsip
pemecahan masalah dengan bekerja-sama. Menurut Priyatna Abdurrasid ada dua
alasan yang mendasari APS dikatakan dapat mencapai hasil yang lebih baik
daripada sistem pengadilan yaitu yang pertama, jenis perselisihan membutuhkan
cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang
tatacara/prosedur khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah. Kedua,
mediasi dan bentuk APS lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan
langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan sehingga menurut
Abdurrasyid APS tidak dapat lagi disebut cara penyelesaian perselisihan yang
bersifat alternatif.[10]
Abdurrasyid menyebutkan
bahwa negosiasi merupakan mekanisme utama dan diberi prioritas dalam alternatif
penyelesaian sengketa. Negosiasi merupakan cara individu berkomunikasi satu
sama lain mengatur hubungan mereka sehari-hari. Negosiasi adaah proses yang
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai
apa yang kita inginkan.[11]
Lebih lanjut
Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian
sengketa dimana para pihak yang berselisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang
independen untuk bertindak sebagai mediator-penengah, akan tetapi tidak diberi
wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat. Mediasi dilakukan dengan
menggunakan berbagai prosedur, teknik dan keterampilan membantu para pihak
untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan. Mediator juga merupakan
seorang fasilitator yang dalam beberapa bentuk mediasi memberikan evaluasi yang
tidak mengikat mengenai nilai perselisihan jika diperlukan, tetapi tidak diberi
wewenang membuat keputusan yang mengikat.[12]
3. Ketertarikan Advokat untuk Menjadi
Mediator
Penyelesaian sengketa melalui mediasi diharapkan dapat terus
dikembangkan terkait dengan adanya kritik keras terhadap penyelesaian sengketa
melalui proses peradilan yang umum diketahui memakan waktu lama yang membuat
biaya perkara menjadi mahal. Sedangkan pengadilan seringkali tidak tanggap
terhadap keinginan dan kebutuhan pihak-pihak yang bersengketa. Putusan yang
diberikan terkadang tidak menyelesaikan permasalahan bahkan menimbulkan masalah
baru. Kritik yang lain adalah putusan hakim tidak menjamin kepastian hukum dan
para hakim hanya memiliki corak kemampuan yang generalis.[13]
Profesi
advokat saat ini berkembang dengan sangat pesat baik secara kuantitas maupun
kualitas. Secara kuantitas advokat saat ini semakin banyak dengan dilantiknya
sekitar lima-ribuan advokat setiap tahunnya oleh organisasi advokat. Secara
kualitas saat ini banyak advokat yang sudah tidak lagi bercorak generalis.
Mereka telah mengembangkan ilmu dan keterampilan mereka ke bidang-bidang kekhususan
tertentu. Hal itu menjadi salah satu aspek pembeda di antara mereka dengan
advokat-advokat lain untuk menunjang kesuksesan mereka. Tuntutan pengembangan
kualitas advokat itu antara lain terjadi disebabkan oleh perkembangan bisnis
internasional, persaingan antara advokat, serta minat dan idealisme advokat itu
sendiri. Banyak advokat yang fokus di bidang pasar modal, asuransi,
pertambangan, perbankan, kepailitan, hukum keluarga, pertanahan, tenaga kerja
dan lain sebagainya. Sehingga mereka menjadi terbiasa dan ahli menangani
perkara-perkara spesifik terkait dengan fokusnya tersebut. Dengan modal besar
itu, advokat dapat menjadi elemen penting bagi dinamika proses mediasi di
Indonesia.
Terkait
dengan hal di atas, ada beberapa permasalahan yang relevan saat ini mengemuka
yaitu: apakah para advokat saat ini memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang
mediator? adakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mendorong advokat Indonesia
agar melihat mediasi sebagai sarana utama dalam menyelesaikan sengketa di dalam
maupun di luar pengadilan? Masihkah para advokat menilai mediator sebagai
pesaing yang berpotensi merebut lahan pekerjaan mereka ataukah sebagai mitra? Bagaimanakah dinamika dan peran
advokat berlisensi mediator dalam menjalankan tugasnya dalam bidang mediasi
saat ini dan bagaimana proyeksi masa depan peran kombinasi profesi
advokat-mediator itu dalam proses-proses mediasi di Indonesia?
[1] https://abdulhakimsiagian.files.wordpress.com/2014/11/alternatif.pdf,
18/04/2017
[2] ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html,
16/04/2017
[6]
https://www.artikata.com/arti-114946-mediator.html,
16/04/2017
[7] http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-advokat-menurut-bahasa-dan.html,
16/04/2017
[8] Aturan
Benturan Kepentingan Mediator yang Berprofesi Advokat, diakses darihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3529/aturan-benturan-kepentingan-mediator-yang-berprofesi-advokat,
16/04/2017
[9] Priyatna
Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002, hlm 17
[10] ibid
[11] ibid
[12] ibid
[13] Peran
Advokat Menyelesaikan Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan, diakses dari http://www.kompasiana.com/van-elkindy/peran-advokat-menyelesaikan-sengketa-melalui-mediasi-di-pengadilan,
16/04/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar