Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik
Oleh:
Arif Rudi Setiyawan
Aksi-aksi
terorisme di Indonesia telah terjadi sejak lama, bahkan sejak awal kemerdekaan.
Hal itu tidak mungkin terjadi tanpa ada problematika yang melatarbelakanginya.
Teori Kebutuhan Manusia (John Burton) merupakan salah satu alat yang dapat
digunakan untuk membantu memahami penyebab terorisme. Menurut Burton, manusia
memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar stabilitas masyarakat tetap
terjaga. Manusia memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berjuang di setiap
lingkungan dan kelembagaan pada semua tataran sosial untuk memenuhi kebutuhan
primordial-universalnya. Kebutuhan primordial-universal manusia itu adalah
keamanan, identitas, pengakuan dan pembangunan. Burton meyakini bahwa untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan itu manusia akan berusaha menguasai
lingkungannya terus-menerus dan perjuangan semacam itu tidak dapat
dikekang.
Mengutip
Panjaitan (2013), primordialisme adalah adanya ikatan seseorang dalam kehidupan
sosial dengan hal-hal yang dibawa sejak awal kelahiran seperti suku bangsa,
daerah kelahiran, ikatan klan, dan agama. Jadi, perjuangan primordial berarti
usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting manusia yang dipengaruhi
unsur-unsur mendasar dalam kehidupan seseorang yang dibawa sejak lahir yang
harus dipenuhi dan tidak dapat dinegosiasikan.
Terorisme
adalah perwujudan konflik yang dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk agresi.
Menurut Teori Frustrasi-Agresi dari Dollard (1939) dan Miller (1941), agresi
timbul akibat rasa frustrasi. Frustrasi terjadi karena adanya hambatan dalam
meraih tujuan. Jadi, aksi terorisme merupakan salah satu wujud dari pelampiasan
rasa frustrasi. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah kebutuhan fundamental,
yaitu empat kebutuhan primordial-universal seperti yang disebutkan oleh John
Burton.
Permasalahan
pokoknya kemudian adalah kemungkinan bahwa kelompok seperti Jamaah Ansharut
Tauhid (JAT) dan para pendukungnya menjadi pihak yang kebutuhan primordial universalnya
tidak terpenuhi atau terhambat. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan itu, serta
terhambatnya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya, maka
akan memicu frustrasi dan meledakkan agresi, antara lain dengan ancaman atau
aksi terorisme yang melawan hukum, mengganggu stabilitas dan kedamaian negara.
JAT
dipersepsi sebagai salah satu representasi utama gerakan organisasi Islam
radikal di Indonesia saat ini. Gagasan kelompok JAT menentang ideologi
Pancasila dan sistem demokrasi dinilai memicu konflik dan berpotensi
menyebabkan perpecahan. Ustadz Abu Bakar Baasyir sebagai tokoh nomor satu JAT
sendiri memiliki rangkaian catatan terkait isu seputar pertentangannya dengan
pemerintah Orde Baru. JAT beberapa kali dikaitkan dengan aksi dan rencana
terorisme. Oleh pemerintah, eksistensi JAT sangat diwaspadai. Pada beberapa
kasus yang terjadi misalnya, pelatihan militer (i’dad) di Aceh, peristiwa bom
bunuh diri di masjid adz-Dzikra di Mapolres Cirebon dan GBIS Kepunton Solo
serta beberapa peristiwa lain, sorotan tajam tertuju kepada kelompok itu,
meskipun mereka seringkali menyangkal dikaitkan dengan kasus-kasus terorisme.
Kelompok itu berulang-kali menyatakan tidak pernah merestui aksi kekerasan
dilakukan di negeri damai seperti di Indonesia.
Terhadap
berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikaitkan dengan anggota (mantan
anggota) JAT, pendekatan keras dengan sistem peradilan pidana (criminal-justice
system) telah diterapkan dengan baik, mulai dari penyelidikan hingga
pemidanaan. Akan tetapi strategi pemerintah yang diharapkan mampu memberi
kepastian hukum dan keadilan di tengah masyarakat itu, ternyata belum cukup
efektif untuk mengubur ideologi, menghentikan cita-cita seseorang atau suatu
kelompok dan menghilangkan faktor-faktor konflik. Dipenjarakannya ketua dan
jajaran penting JAT tidak membuat kelompok itu bubar atau menghentikan
impiannya menjadikan NKRI berhukum pada syariat Islam, serta memupuskan harapan
mereka pada pembentukan khilafah.
Kenyataan
tersebut membuat pemerintah berupaya mengembangkan strategi berbeda untuk
menyempurnakan konsep penanggulangan terorisme. Pemerintah ingin menerapkan
penanggulangan terorisme secara integratif dan komprehensif, tidak hanya
terfokus pada aspek penindakan semata tetapi dipadukan dengan pencegahan.
Pendekatan tersebut ialah dengan mengimplementasikan program deradikalisasi.
Deradikalisasi adalah upaya mentransformasi ideologi radikal menjadi tidak
radikal dengan pendekatan multidisiplin. Namun, ketika baru saja dimulai,
langkah itu telah mendapat tentangan dan kritik dari berbagai kalangan ormas
Islam. Ada beberapa alasan di balik penolakan tersebut, yaitu: deradikalisasi
dicurigai sebagai gerakan pendangkalan akidah, dapat memecah-belah umat, dan
bertujuan untuk melemahkan Islam. Dalam upayanya, BNPT pernah mempertemukan
ulama-ulama internasional, dalam negeri dan mantan petinggi kelompok radikal
untuk berdialog dengan terpidana terorisme, salah satunya Ustadz Baasyir di
Nusakambangan, akan tetapi belum diperoleh hasil yang memuaskan.
Terkait
program itu, tahun 2007 Fakhri Usmita pernah mengatakan bahwa “program
deradikalisasi belum memberikan perubahan signifikan dalam penanggulangan
terorisme, menurutnya harus dilakukan pendekatan yang lebih segar dalam upaya
penanggulangan terorisme.” Kira-kira sepuluh tahun kemudian Ihsan Ali-Fauzi
dari Yayasan Paramadina juga mengatakan: “Setelah serangan terorisme terjadi
lagi di Jakarta pada pertengahan Januari (2016) lalu, pemerintah, parlemen, dan
publik kembali ramai membicarakan deradikalisasi. Tapi, kita tak melangkah
cukup jauh. Seperti gasing, kita hanya berputar-putar sambil bergeser
sedikit.”
Dalam
rangka memberikan sumbangsih ide untuk menanggulangi terorisme, penulis ingin
menyajikan empat prosedur resolusi konflik yang diperkenalkan oleh John Burton.
Keseluruhan prosedur apabila dicermati ternyata sangat erat dengan budaya dan
kearifan bangsa yang diabadikan dalam Pancasila yaitu musyawarah mufakat.
Musyawarah menjadi elemen utama dalam prosedur resolusi konflik, ia dapat menjadi
penangkal utama radikalisme dan terorisme.
Empat
jenis prosedur resolusi konflik yang diusulkan yaitu: Pencegahan Konflik,
Manajemen Konflik, Resolusi Konflik dan Provensi Konflik. Di mana setiap
prosedur ditempuh dengan cara mengembangkan upaya fasilitasi, merancang
keterlibatan pihak ketiga, dan melakukan perubahan struktural untuk
menghilangkan sebab-sebab fundamental konflik. Perubahan struktural dilakukan
dengan melakukan identifikasi terhadap potensi terjadinya kekerasan struktural
yang ada di dalam sistem. Kekerasan struktural merupakan kekerasan oleh
individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata
kebiasaan yang ada di masyarakat. Kekerasan ini sulit dilihat, tetapi
berpengaruh besar terhadap munculnya masalah sosial seperti ketimpangan sumber
daya, keadilan, kewenangan dan lain-lain. Berikut adalah catatan penulis
terkait empat prosedur resolusi konflik, dikomparasikan dengan upaya pemerintah
dalam menanggulangi terorisme selama ini khususnya terhadap gerakan JAT:
1.
Pencegahan Konflik
Upaya
pencegahan merupakan strategi utama BNPT dalam merespons fenomena terorisme.
BNPT mengembangkannya dengan empat cakupan yaitu, bidang pengawasan, kontra
propaganda, penangkalan (deideologisasi) dan kewaspadaan. Program pencegahan
BNPT dilakukan dengan mengoordinasi lembaga-lembaga pemerintah untuk ikut
bergabung menangkal paham radikal terorisme. Masyarakat sipil termasuk media
daring diajak untuk membendung paham radikal di dunia maya. Target utama yang
disasar adalah narapidana dan mantan narapidana terorisme, mantan kelompok
teroris, keluarga narapidana teroris, individu serta kelompok yang berpotensi
terpapar paham radikal.
Pada
prosedur ini terdapat beberapa temuan, yaitu: dalam programnya, BNPT masih
menggunakan model seperti penyuluhan ketika berhadapan dengan kelompok binaan,
cara itu menganggap kelompok sasaran masih sebagai orang yang belum tercerahkan
atau belum sadar. Daripada melakukan indoktrinasi seperti itu, lebih baik
pemerintah berupaya mengembangkan rasa saling memahami dengan warga binaannya.
Pemerintah jangan semata-mata mencekoki pengetahuan terhadap warga binaan,
sebab upaya membangkitkan pengetahuan mereka lebih diperlukan. Proses
deradikalisasi sebaiknya berlangsung dalam kondisi setara antara pemerintah
dengan sasaran, dengan menggunakan metode diskusi yang dialogis daripada
ceramah yang monologis. Para ulama, mantan teroris dan pihak lain yang
menjalankan fungsi deradikalisasi juga harus menjadi bagian dari pihak yang
melakukan usaha untuk membantu terselesaikannya konflik. Selain itu pemerintah
harus lebih peka terhadap masalah-masalah pokok yang dihadapi binaan.
Pemerintah perlu meletakkan fokus membantu sasaran untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi seperti ekonomi keluarga binaan. Dengan diterapkannya gaya baru
tersebut, hambatan-hambatan yang dihadapi seperti penolakan dan resistensi
diharapkan tidak terjadi lagi.
2.
Manajemen Konflik
Kelemahan
strategi kombinasi disinyalir karena pilihan yang cenderung menggunakan
Manajemen Konflik bertipe kompetisi (competing). Tipe kompetisi membiarkan para
pihak yang berkonflik bersaing untuk memenangkan konflik sehingga ada pihak
yang kalah dan dikorbankan kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak
lain yang lebih kuat, lebih besar atau yang lebih berkuasa (zero sum).
Manajemen Konflik lebih cenderung memilih menggunakan tipe kolaborasi
(collaborating). Di mana pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama
memperoleh hasil yang memuaskan, karena bekerja-sama secara sinergis dalam
menyelesaikan persoalan dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain.
Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai dan menghasilkan win-win solution.
3.
Resolusi Konflik
Cara
yang ditempuh oleh pemerintah dalam menanggulangi terorisme terhadap kelompok
radikal cenderung dilakukan menggunakan model dominasi atau supresi. Model
dominasi biasanya memiliki dua macam persamaan yaitu, berusaha menekan konflik
dan menyelesaikannya dengan memaksa konflik ditenggelamkan dan menimbulkan
situasi menang-kalah, di mana salah satu pihak terpaksa mengalah karena
otoritas yang lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaannya, dan
mereka biasanya menjadi tidak puas, karena itu sikap bermusuhan akan muncul
atau tetap ada. Tindakan supresi dan dominasi yang biasa dilakukan adalah
dengan melakukan pemaksaan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Penggunaan
strategi penyelesaian konflik dengan mengedepankan model yang bisa memecahkan
permasalahan lebih dianjurkan. Dengan metode ini konflik antar kelompok
dialihkan kepada situasi pemecahan masalah bersama, yang dapat dilakukan dengan
bantuan teknik-teknik pemecahan masalah. Negara dan kelompok radikal sebagai
pihak yang berkonflik bersama-sama mencoba menyelesaikan masalah yang timbul
antara mereka. Semua pihak tidak berusaha menekan konflik ataupun mencoba
mencari kompromi, tetapi secara terbuka bersama-sama mencari alternatif yang
dapat diterima oleh semua.
4. Provensi
Konflik
Prosedur
Provensi Konflik menghendaki kondisi-kondisi yang ada dibalik terjadinya
fenomena terorisme baik faktor dari dalam maupun luar negeri harus dihilangkan.
Misalnya dari pihak JAT adalah dengan menghilangkan kecemasan dan memberi
keyakinan bahwa hidup berbangsa dan bernegara dalam naungan NKRI dapat
mendukung keselamatan dunia-akhirat apabila mereka menjalankan perintah Allah
dan meninggalkan larangan-Nya sebaik-baiknya. Mengakomodasi pemenuhan kebutuhan
identitas yang menghendaki umat Islam di negara mayoritas berpenduduk Islam
cukup berperan dalam menentukan kebijakan negara. Memberi tempat yang lebih
luas pada penyerapan hukum Islam dalam undang-undang negara (misalnya dalam
hukum pidana) dan memperbaiki sistem demokrasi.
Seluruh
prosedur dan prinsip resolusi konflik di atas, dalam setiap tahapannya harus
selalu ditempuh dengan musyawarah, kearifan lokal bangsa kita yang sangat
berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar