Unsur Budaya Jawa untuk
Menangkal Radikalisme dan Terorisme
Oleh: Arif Rudi Setiyawan
A.
Faktor-Faktor Konflik
Dalam artikel berjudul “Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi
Konflik yang dimuat di situs Indonesiana.tempo.co, pada tanggal 18 September
2018,” penulis menyitir pendapat John Burton yang menyebutkan bahwa konflik di
antara umat manusia terjadi akibat adanya dorongan untuk berjuang pada seluruh
tataran sosial dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan primordial-universalnya,
yaitu kebutuhan rasa aman, identitas, pengakuan dan pembangunan (Teori
Kebutuhan Manusia). Kali ini, kami akan mencoba menggambarkan satu-persatu
faktor yang terindikasi melahirkan konflik antara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)
berhadapan dengan negara. Selanjutnya penulis ingin memaparkan pula unsur-unsur
budaya Jawa yang layak menjadi pedoman sebagai penangkal radikalisme dan
terorisme yang muncul dari faktor konflik itu.
Berikut ini adalah empat faktor konflik yang diderita JAT mengacu
pada Teori Kebutuhan Manusia:
1. Kebutuhan Rasa Aman
Dalam buku Tadzkiroh I pada butir 4, Ustadz Abu Bakar Baasyir
menuliskan nasihat kepada para pemimpin negara untuk bertaubat dan menaati
perintah Allah agar mengatur negara dengan hukum Allah secara murni dan kaffah
agar selamat dari siksa neraka. Pernyataan tersebut menunjukkan keinginan
adanya pemenuhan kebutuhan rasa aman. Buku Tadzkiroh merupakan pernyataan sikap
yang menggambarkan cita-cita dan perjuangan organisasi itu. JAT bercita-cita
agar umat Islam selamat dari azab dan siksaan Allah baik di dunia maupun
akhirat dengan cara memperjuangkan tegaknya syariat Islam dan menjalankan
perintah Allah dengan mengatur negara secara murni dan kaffah. Ustadz Abu bakar
Baasyir sebagai pemimpin kelompok JAT, meyakini bahwa rakyat dalam negara yang
tidak diatur dengan hukum Islam maka amal ibadahnya sia-sia.
2. Kebutuhan Identitas
Kelompok JAT merasa memiliki identitas yang berbeda dengan
orang-orang yang tidak satu pemahaman dengan mereka, di samping itu mereka
tidak cocok dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan hidup
berbangsa dan bernegara. JAT menghendaki umat Islam-lah yang memimpin negara,
umat beragama lain akan dilindungi dan dinaungi dalam hukum Islam. Kelompok
tersebut menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam sedunia dalam satu
khilafah. Identitas keislaman itulah yang diperjuangkan dengan pengorbanan
besar sekalipun.
3. Kebutuhan Pengakuan
JAT menginginkan umat Islam diakui sebagai pemimpin. Pengelolaan
negara harus dilakukan berdasarkan hukum Islam yang diakui sebagai hukum dasar
negara. JAT menekankan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Tuhan
yang dipastikan kebenarannya, oleh karena itu negara harus didasarkan pada
hukum Islam. Pancasila bukan pilihan terbaik, karena hanya bersumber dari
pikiran manusia, Pancasila belum-lah final, masih dapat diubah dan
diperdebatkan. Dalam negara yang mayoritas beragama Islam, JAT menyayangkan
bukan hukum Islam yang diakui dan digunakan untuk mengelola negara.
4. Kebutuhan Pembangunan
JAT melihat bahwa negara demokrasi tidak membawa kemakmuran bagi
masyarakat. Demokrasi justru telah menjadi penyebab perpecahan, perselisihan
dan ketidakadilan. Keadilan dapat diwujudkan manakala umat Islam membangun
masyarakat dengan ekonomi Islam yang adil dan merata. Menurut JAT, negara
demokrasi menyuburkan ideologi kapitalisme yang materialis. Islam mengajarkan
bahwa mereka dan apa yang dimilikinya adalah milik Tuhan. Umat Islam diberi
amanat sebagai khalifah untuk mengelola bumi berdasarkan kehendak Tuhan.
Setidaknya faktor-faktor di atas adalah kebutuhan
primordial-universal kelompok JAT yang ingin dipenuhi, oleh karena itu selalu
mereka perjuangkan setiap saat. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu
dapat mengakibatkan ketidak-stabilan sosial, menurut Burton pemenuhan terhadap
kebutuhan-kebutuhan semacam itu tidak dapat ditawar.
B. Ide untuk Menanggulangi Terorisme
John Burton menyatakan: “Konflik tidak dapat diselesaikan dengan
kekuatan bersenjata dan juga negosiasi antar-pihak yang bertikai. Resolusi
konflik tidak berakhir di meja negosiasi namun merupakan suatu proses untuk
menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar
manusia.”
Petikan di atas adalah konsep tentang bagaimana resolusi konflik
seharusnya dijalankan. Belajar dari pengalaman penanggulangan terorisme di masa
lalu, sesuai dengan konteks waktu dan tantangan zaman, pada awalnya pemerintah
berusaha menyelesaikan fenomena itu dengan pendekatan kekuatan bersenjata, pada
batasan tertentu pendekatan itu berhasil. Secara fisik terorisme dapat ditekan,
akan tetapi ternyata tidak dapat menyelesaikan hingga ke akar persoalan.
Misalnya, ketika pemerintah berhasil mengatasi pemberontakan oleh kelompok
DI/TII. Secara fisik kekuatan kelompok itu sudah berhasil dieliminasi, akan
tetapi tidak demikian secara ideologi. Bahkan, kelompok yang muncul pada awal
kemerdekaan juga telah menjadi benih bagi kemunculannya kelompok-kelompok baru
yang memiliki ideologi dan cita-cita serupa.
Saud Usman (2015), memberikan penilaian yang menarik sebagai
berikut: “Dulu ada DI/TII ada GAM bermacam-macam, tapi tujuannya sama,
khilafah. Dari waktu ke waktu, dari era ke era ini berlangsung terus, berbagai
upaya pemerintah dalam rangka untuk mengantisipasinya toh belum ada solusi yang
tepat. Kita bisa lihat orde lama pendekatan militer gagal, orde baru pendekatan
militer gagal....”
Di era reformasi upaya penggunaan kekuatan senjata pun dilakukan,
misalnya pada penyergapan di Jantho Aceh, penangkapan terduga teroris atau
buron teroris dan peristiwa-peristiwa terbaru lainnya. Pemerintah juga
menggunakan kekuatan senjata ketika menangkap terduga teroris perencana bom di
Cirebon. Namun, terdapat perbedaan antara penggunaan senjata pada era ini
dengan di masa sebelumnya, pendekatan itu digunakan terbatas sebagai upaya
penegakan hukum dan pemenuhan keadilan.
Ide untuk menangkal radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu
perlu untuk selalu disempurnakan. Munculnya gagasan yang menawarkan
penanggulangan terorisme dengan Pendekatan Penyelesaian Masalah(Problem Solving
Approach) dengan mengajak kelompok radikal untuk bersama-sama bekerja memenuhi
kebutuhan masing-masing, atau memulai suatu proses untuk menciptakan struktur
baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, saat ini terdengar
masih asing. Namun hal itu tidak-lah mustahil dilakukan sebab konsep
deradikalisasi pun pada mulanya juga terdengar asing, seperti yang disampaikan
mantan ketua BNPT Saud Usman ketika memperkenalkan konsep deradikalisasi yang
disalah-pahami oleh masyarakat Barat. Dalam seminar di Jakarta pada bulan
Desember 2015, beliau mengatakan:
"Di era reformasi inilah kita menemukan suatu konsep, yaitu
konsep deradikalisasi, akan tidak selesai masalah itu pengalaman kita, tapi
harus diikuti dengan bagaimana pendekatan kultur budaya kita ke depan. Itu juga
pada awalnya konsep ini kami bawa ke Eropa, di berbagai negara saat itu orang
kita (BNPT) dianggap mendukung teroris. Dan kami katakan bahwa kami korban
teroris, bisa dikatakan, kita lihat ada akar masalah yang harus diselesaikan
tidak semata-mata menganggap teroris, tapi apa sih permasalahannya, apa
motivasinya? Pertama dendam, rasa ketidakadilan, kesenjangan sosial, kemiskinan
dan dampak-dampak daripada otonomi yang tidak pro-rakyat, ada diskriminasi dan
yang ingin membentuk khilafah. Mereka sedikit, tapi diperparah oleh berbagai
akar masalah tadi yang belum terselesaikan...."
C. Unsur Budaya Jawa
Agar upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme semakin
efektif, diperlukan adanya kaidah fundamental yang sudah teruji untuk menjadi
landasannya. Penulis menilai bahwa ada unsur-unsur budaya Jawa layak untuk
digunakan sebagai fundamen untuk menangkal faktor penyebab radikalisme dan
terorisme. Ahmad Adaby Darban (2004), menuliskan bahwa dalam budaya Jawa
ada beberapa kaidah dasar untuk meredam konflik, yaitu:
1. Prinsip Rukun
Rukun adalah keserasian hubungan sesama manusia secara horizontal
dengan upaya mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis,
yaitu selaras, tenang, tenteram, bersatu, dan saling membantu. Prinsip ini
dapat mengikat masyarakat selalu dalam keadaan harmonis meskipun memiliki
perbedaan kebutuhan maupun latar belakang. Kelompok radikal akan sulit lahir
dari masyarakat yang rukun.
2. Prinsip Hormat
Prinsip hormat berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam
hierarki sosial, yaitu adanya usaha menempatkan orang lain pada kedudukannya
(statusnya), seperti misalnya dengan kedua orang tua, guru, kyai, pemimpin dan
tokoh yang dihormati. Dalam kehidupan bernegara prinsip hormat dapat berkaitan
dengan penghormatan terhadap negaranya. Seseorang yang menghormati bangsa dan
negaranya akan timbul nasionalisme. Prinsip hormat juga terkait dengan kemauan
menghargai pendapat pihak lain yang berbeda sehingga akan menangkal seseorang
dari radikalisme.
3. Tepa Selira
Tepa selira adalah usaha untuk tidak melakukan tindakan yang dapat
menganggu ketenteraman dan perasaan orang lain. Dengan tepa selira orang akan
berusaha melakukan tindakan sambil mempertimbangkan perasaan dan posisi
psikologis orang lain. Konsep ini berusaha menjaga ketenteraman batin orang
lain. Dengan tepa selira, akan timbul kehati-hatian dalam bertindak sehingga
tidak akan saling menyakiti.
4. Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah
Artinya kerukunan akan menjadikan kuat, sedangkan konflik akan
menjadikan perpecahan. Dalam masyarakat Jawa, konflik adalah perbuatan tercela
yang harus dihindari. Sebaliknya kerukunan, kebersamaan, persatuan dan
persaudaraan harus diwujudkan untuk membuat kekuatan dalam hidup bermasyarakat.
Ungkapan kata ini menunjukkan bahwa kerukunan akan menumbuhkan kekuatan dan
persatuan sedangkan pertikaian, konflik akan menimbulkan perpecahan dan
kerusakan.
5. Ngalah Gedhe Wekasane
Ungkapan ini artinya adalah mengalah besar penghargaannya. Konsep
mengalah (ngalah) tidak berarti kalah, akan tetapi ada kesengajaan tidak
mengadakan perlawanan, demi masa depan yang lebih baik atau lebih besar
manfaatnya. Apabila pihak-pihak yang berkonflik menyadari besarnya manfaat
mengalah tentu tidak akan muncul benih konflik yang bermanifestasi menjadi radikalisme
dan terorisme.
6. Aja Dumeh
Ungkapan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang mendapat
kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan berbagai kelebihan lain yang
akan menjurus ke tingkah laku merugikan. Tingkah laku itu antara lain, sombong,
merendahkan orang lain, serta men-zalimi orang lain. Ungkapan ini mirip dengan
istilah “adigang-adigung-adiguna” yang tepat ditujukan kepada pemerintah
khususnya dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme agar tidak
menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak sewenang-wenang. Tepat pula
ditujukan kepada kelompok masyarakat atau ormas agar tidak ingin menang sendiri
dan menolak pihak lain.
7. Sing Sabar, Subur
Ungkapan “sing sabar, subur” artinya orang yang sabar akan
sejahtera dan selamat sehingga terhindar dari konflik. Tidak boleh gegabah
dalam menyelesaikan masalah, tidak boleh atau mengambil jalan pintas melalui
prosedur yang tidak benar dalam mengusahakan sesuatu. Berlaku sabar harus
dilakukan dengan prosedur yang benar, sehingga akan membuahkan hasil yang baik
tanpa menimbulkan benturan.
8. Rembug Bareng
Rembug bareng artinya adalah musyawarah bersama. Dalam memecahkan
persoalan atau memutuskan sesuatu terkait kepentingan khalayak, musyawarah
mufakat sebaiknya selalu dilakukan. Musyawarah dapat menghasilkan keputusan
yang memuaskan sebagian besar warga masyarakat, sehingga dapat meredam
kemungkinan munculnya konflik.
Beberapa unsur kebudayaan di atas merupakan prinsip yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat Jawa yang layak diterapkan sebagai kaidah dasar
untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai luhur yang sudah teruji
tersebut dapat mendukung proses untuk menciptakan struktur yang kondusif bagi
pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga radikalisme dan terorisme dapat
diatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar