Minggu, 10 Februari 2019

Hukum Profesi Advokat dalam Tinjauan Abu Ubaidah Yusuf (I)

Hukum Profesi Advokat dalam Tinjauan Abu Ubaidah Yusuf (I)
Editor: Arif Rudi Setiyawan
Advokat/Pengacara Tinggal di Wonosobo

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi memberikan tinjauannya terhadap kebolehan profesi advokat menurut Islam, sebuah profesi yang akrab juga disebut dengan istilah pengacara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengaitkan tinjauan Abu Ubaidah tersebut dengan Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia.

Abu Ubaidah memulai tinjauannya dengan menekankan bahwa syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan paripurna, di dalamnya sudah terdapat segala hal yang dibutuhkan termasuk adanya konsep yang jelas tentang pengadilan, di mana profesi advokat mendapat tempat.

Abu Ubaidah mendefinisikan advokat sebagai orang yang melakukan atau memberikan nasihat dan pembelaan atau mewakili orang lain atau klien untuk menyelesaian suatu kasus hukum. Atau dengan kata lain advokat adalah profesi hukum yang berperan dalam suatu persengketaan yang  diselesaikan di dalam atau pun di luar sidang pengadilan.

Undang-Undang Advokat Indonesia sendiri menyatakan bahwa advokat sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat. Sedangkan menurut undang-undang, jasa hukum adalah jasa yang diberikan oleh advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Sementara itu, Kode Etik Advokat Indonesia (Kode Etik) memberikan definisi bahwa advokat Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Di tengah-tengah masyarakat terkadang muncul keraguan tentang boleh atau tidaknya seseorang menjalani profesi sebagai advokat itu khususnya untuk tampil di persidangan. Terhadap keraguan tersebut Abu Ubaidah menyimpulkan bahwa adanya pengacara dalam persidangan diperbolehkan, hal itu ia dasarkan dari dalil-dalil yang ada di al-Quran, hadits, ijma dan akal. Berikut adalah dalil-dalil yang disampaikan oleh Abu Ubaidah tersebut:

1. Dalil Al-Qur’an
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. an-Nisa’ 41:105)

Abu Ubaidah menegaskan bahwa dalam ayat tersebut melarang menjadi advokat yang batil, bertindak sebagai advokat diperbolehkan hanya bila dalam kebenaran.

2. Dalil Hadist
Dari Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Abu ‘Amr menceraikannya tiga cerai dari kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)

Menurut Abu Ubaidah, hadits ini menunjukkan bolehnya mengutus perwakilan dalam persengketaan (advokat), karena Fathimah melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, hal itu menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.

3. Dalil Ijma
Abu Ubaidah mencatat bahwa secara global, tidak ada pendapat yang saling bertentangan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya. Bahkan, secara khusus sebagian ulama telah menukil adanya ijma dalam masalah ini. Abu Ubaidah menulis bahwa As-Sarokhsi (490H) berkata, “Perwakilan dalam pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya pengingkaran dari siapa pun.” Ia melanjutkan bahwa As-Sumnani (499 H) pernah menjelaskan tentang hal ini, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hal itu menurutnya juga telah dilakukan oleh orang-orang di berbagai negara."

4. Dalil Akal
Abu Ubaidah mengatakan bahwa seseorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat baik membela atau membantah maka sangat sesuai jika syariat membolehkannya.
Dari dalil-dalil yang telah ia kemukakan tersebut, Abu Ubaidah meyakini kebolehan profesi advokat, apabila digunakan untuk membela kebenaran dan menolong orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji maupun tidak.

Sementara itu terkait kebolehan adanya profesi advokat, berdasarkan Undang-Undang Advokat Indonesia, bahwa untuk kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri, maka profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab diperlukan keberadaannya. Hal itu diperlukan untuk mewujudkan peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Jadi berdasarkan undang-undang, Indonesia bukan hanya memperbolehkan keberadaan profesi advokat, akan tetapi lebih dari itu advokat menduduki peran yang sangat diperlukan dan begitu penting.

Abu Ubaidah mengutip Lajnah Da'imah (komite fatwa) Arab Saudi yang pernah ditanya tentang hukum profesi advokat. Komite Fatwa menjawab bahwa apabila seseorang berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Dan sebaliknya, apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk tolong-menolong dalam dosa. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolonglah dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. (QS. al-Ma’idah [5] : 2).

Abu Ubaidah meyakini bahwa keberadaan profesi pengacara atau advokat itu sudah ada sejak lama, sekalipun tidak selalu ada dalam setiap persidangan. Salah satunya adalah adanya bukti tertulis yang dikatakan oleh as-Sumnani rahimahullah (499 H). Dalam kitabnya khususnya pada bab tentang advokat dan kewajiban menunjukkan bahwa profesi advokat sudah ada sejak lama. Bahkan disebutkan dalam sebuah kitab biografi ada seseorang yang dikenal sebagai pengacara  profesional seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrohim rahimahullah (346H).

Terkait dengan gaji atau honorarium profesi advokat, Abu Ubaidah mendasarkan pendapatnya dari dalil sebagai berikut:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus- pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan unluk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. at-Taubah [19]: 6o)

Abu Ubaidah mengatakan bahwa dalam ayat tersebut terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seseorang untuk mengambil zakat dan membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut. Beliau menyimpulkan bahwa bila amil zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Undang-Undang advokat sendiri menyatakan bahwa advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya, dan besarnya honorarium atas jasa hukum itu ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Kode Etik Advokat mendukung pernyataan itu bahwa dalam melakukan tugasnya advokat tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.

Sumber:
Kode Etik Advokat Indonesia
Undang-Undang Advokat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...