Senin, 22 Oktober 2018

MENGENAL PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA


MENGENAL PROSPEKTUS PENAWARAN WARALABA
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A. Pendahuluan
Prospektus menempati peran utama dalam penjualan bisnis waralaba di samping dokumen perjanjian waralaba. Prospektus menjelaskan secara terperinci aspek-aspek yang perlu disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam artikel ini akan dijabarkan beberapa butir saja berbagai hal yang perlu dicantumkan ke dalam sebuah prospektus penawaran waralaba yang baik. Sebuah prospektus sangat berguna untuk membantu penerima waralaba memahami usaha waralaba yang ditawarkan.

Sebelum membicarakan isi prospektus, pada bagian awal prospektus perlu dinyatakan secara tertulis suatu pernyataan yang dimasukkan ke dalam dokumen ini yang ditujukan kepada penerima waralaba, bahwa isi prospektus harus diperiksa secara menyeluruh dan dicocokkan dengan klausula-klausula yang ada dalam dokumen perjanjian waralaba yang juga harus dibuat antara pemberi dan penerima waralaba. Apabila terdapat perbedaan atau ketidaksesuaian antara prospektus dengan perjanjian waralaba, maka yang berlaku adalah perjanjian waralaba bukan prospektus penawaran waralaba. Alasannya adalah karena perjanjian waralaba menjalankan fungsi yang berbeda dengan prospektus. Prospektus berfungsi sebagai dokumen yang memberikan informasi tentang kondisi perusahaan pemberi waralaba dan bisnis yang diwaralabakan kepada penerima waralaba, sedangkan perjanjian waralaba merupakan dokumen yang mengikat pemberi waralaba dan penerima waralaba untuk melaksanakan isi perjanjian waralaba yang telah disetujui pemberi dan penerima waralaba. Jadi terdapat perbedaan signifikan antara prospektus dengan perjanjian waralaba di mana perjanjian waralaba mengikat antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba untuk melaksanakan perjanjian sehingga kedudukan perjanjian waralaba lebih kuat daripada prospektus waralaba. Meskipun demikian, prospektus harus disusun dengan saksama karena prospektus adalah materi dasar dibuatnya perjanjian waralaba disamping juga dipersyaratkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.    

B. Informasi Kepada Calon Penerima Waralaba
Saat ini pemerintah telah menetapkan bisnis waralaba yang diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba dan Peraturan Pemerintah RI No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba mewajibkan pemberi waralaba untuk menyerahkan prospektus kepada penerima waralaba paling singkat 2 (dua) minggu sebelum perjanjian waralaba ditandatangani oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba. Informasi ini dimaksudkan untuk melindungi penerima waralaba dan membantu penerima waralaba agar dapat mengambil keputusan apakah ia akan membeli bisnis waralaba yang ditawarkan ataukah tidak.

Di samping prospektus yang harus dipelajari dengan cermat, perjanjian waralaba juga harus dipahami dengan baik. Perjanjian waralaba merupakan dokumen yang wajib ada dalam bisnis waralaba. Perjanjian waralaba mengatur segala sesuatu terkait hubungan antara pemberi waralaba dan penerima waralaba serta kedua pihak itu dengan pihak lain yang terkait dengan bisnis waralaba. Setelah isi perjanjian waralaba disetujui, maka hubungan hak dan kewajiban para pihak akan dimulai dan mengikat para pihak yang menandatanganinya untuk melaksanakan isi perjanjian itu. Perjanjian waralaba harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi kepentingan para pihak dan para pihak tersebut juga harus mengakomodasi kepentingan pihak lain sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati. Perjanjian waralaba ini juga merupakan dokumen yang wajib dibuat selain faktor kebutuhan pemberi waralaba dan penjual waralaba, akan tetapi juga dipersyaratkan oleh peraturan negara Republik Indonesia

C. Apakah bisnis waralaba itu rumit?
Bisnis waralaba bukanlah bisnis yang sederhana. Ia adalah bisnis yang rumit dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi bisnis ini memberikan keuntungan-keuntungan yang menjanjikan bagi orang-orang yang menekuninya. Bisnis waralaba memerlukan persiapan yang matang sebelum ia dapat dijual kepada para penerima waralaba. Sebelum dijual, sebuah bisnis waralaba harus dipastikan terlebih dahulu bahwa bisnis tersebut harus memiliki prospek yang baik. Bisnis itu harus terbukti memberikan keuntungan bagi pemilik waralaba sebelum dijual kepada para penerima waralaba. Sebuah bisnis yang tidak prospektif atau tidak memberikan keuntungan yang baik bagi pemberi waralaba sulit untuk dapat laku dijual kepada para calon penerima waralaba. Akan tetapi selain terpenuhinya syarat tersebut masih ada syarat-syarat lain yang tentu harus dipenuhi.

D. Proses penjualan waralaba
Apabila sebuah bisnis sudah siap untuk diwaralabakan, artinya bahwa bisnis tersebut sudah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai sebuah bisnis waralaba, maka ada suatu tantangan baru yang harus ditaklukkan oleh pemberi waralaba yaitu bagaimana cara  memasarkan bisnis itu. Bisnis sebagus apa pun, se-prospektif apa pun, apabila tidak dipasarkan dengan baik maka bisnis itu tidak dapat berkembang sebagai sebuah bisnis waralaba yang berhasil. Selain dengan mempromosikan bisnis waralaba dengan cara memberikan produk terbaik kepada konsumennya yang pada akhirnya konsumen puas dan memberikan dampak yang baik bagi citra bisnis waralaba itu, bisnis waralaba dapat pula dipasarkan dengan cara-cara efektif lainnya, salah satunya dengan mengikuti pameran-pameran yang rutin di gelar setiap tahun di kota-kota besar di Indonesia maupun di tempat-tempat baik yang berskala regional maupun internasional. 

E. Waktu yang cukup untuk mempelajari dokumen
Banyak dokumen terkait bisnis waralaba yang harus dipersiapkan oleh penerima waralaba dan beberapa diantaranya harus disiapkan oleh penerima waralaba. Pemberi waralaba harus mempersiapkan dokumen-dokumen terkait perusahaan pemilik waralaba itu dan juga bisnis yang diwaralabakan olehnya. Dokumen-dokumen tersebut selain dipersyaratkan oleh undang-undang juga diperlukan untuk memberikan kepastian dan keyakinan kepada calon penerima waralaba. Dokumen-dokumen tersebut meliputi akta pendirian perusahaan, merek dagang, laporan-laporan keuangan, prospektus penawaran waralaba, perjanjian waralaba, manual operasional waralaba dan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu oleh para pihak yang terkait dengan bisnis waralaba.

Pemberi waralaba maupun penerima waralaba perlu untuk saling memahami satu sama lain. Bentuk pemahaman tersebut adalah dapat dimulai dengan saling memeriksa kelengkapan dokumen usaha masing-masing. Pihak pemberi waralaba penting untuk memberikan salinan dokumen-dokumen untuk dipelajari oleh penerima waralaba agar ia memiliki pengetahuan yang cukup tentang bisnis yang akan ia beli. Sedangkan penerima waralaba harus memberikan keyakinan kepada pemberi waralaba bahwa ia dapat mematuhi persyaratan yang diharapkan oleh pemberi waralaba dalam membeli bisnis waralabanya sebab nantinya ia akan menjadi penerima lisensi dagang dari bisnis yang dijual oleh pemberi waralaba. Kegagalan penerima waralaba menjalankan bisnis waralaba yang ia beli dapat bersumber dari kedua belah pihak dan hal itu dapat merusak reputasi bisnis waralaba milik pemberi waralaba secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, pemberi waralaba dan penerima waralaba harus memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari seluruh dokumen yang ada termasuk prospektus penawaran waralaba dan perjanjian waralaba. 

F.            Hak mendapatkan nasihat dari akuntan maupun penasihat hukum  
Calon penerima waralaba berhak untuk mendapatkan nasihat dari ahli-ahli yang diperlukan sebelum membeli bisnis waralaba termasuk nasihat dari akuntan dan dari penasihat hukum. Seorang akuntan memahami tentang seluk beluk laporan keuangan sebuah perusahaan sehingga ia diperlukan untuk menilai kesehatan finansial sebuah bisnis yang akan dijual kepada penerima waralaba. Seorang penasihat hukum dapat memberi nasihat kepada penerima waralaba dari aspek hukum yang antara lain mengenai legalitas perusahaan pemberi waralaba, legalitas bisnis waralaba, keabsahan merek dagang, ada tidaknya permasalahan hukum yang sedang terjadi dan yang berpotensi terjadi di masa depan dan lain sebagainya. Nasihat-nasihat dari akuntan maupun penasihat hukum kepada penerima waralaba tersebut, dapat ditindaklanjuti sehingga terjadi saling pengertian antara pemberi dan penerima waralaba dan dapat menuju tercapainya kesepakatan kerja sama bisnis dengan sistem waralaba. 

G.           Latar Belakang Prospektus penawaran waralaba
Prospektus penawaran waralaba merupakan kondisi nyata pemberi waralaba dan bisnis waralaba yang ditawarkan. Prospektus yang baik adalah prospektus yang dapat mendeskripsikan keseluruhan kondisi pemberi waralaba dan bisnis waralabanya secara jujur dan jelas. Buku ini mencoba untuk menjabarkan kepada pembaca tentang sebuah prospektus yang baik dan lengkap agar pemberi waralaba, penerima waralaba dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan bisnis waralaba dapat mengetahui butir-butir apa saja yang perlu dicantumkan dalam sebuah prospektus yang baik dan benar. Bab ini akan mulai membahas tentang bagian latar belakang yang perlu dicantumkan dalam prospektus.

Bagian latar belakang prospektus adalah bagian yang penting dalam sebuah prospektus. Bagian ini berisi tentang nama pemberi waralaba, keterangan yang menyatakan bahwa apakah pemberi waralaba berstatus sebagai Master Franchisee ataukah tidak, kapan tanggal pemberi waralaba didirikan, dimana alamat resmi pemberi waralaba, apa nama/merek dagang yang digunakan, apa bidang usaha pemberi waralaba, kapan pemberi waralaba mulai mengoperasikan bisnis waralabanya, berapa lama pengalaman bisnis pemberi waralaba dalam bisnis waralaba yang ditawarkan, dan kapan pemberi waralaba mendapatkan pengesahan dari pemerintah sebagai pemberi waralaba. Selanjutnya kita akan membahas satu persatu mengenai keterangan-keterangan yang perlu dicantumkan pada bagian latar belakang prospektus tersebut.

H.           Nama Pemberi Waralaba
Dalam prospektus penawaran waralaba nama perusahaan pemberi waralaba harus dicantumkan agar identitas pemilik bisnis waralaba dapat diketahui oleh penerima waralaba dan pihak-pihak lain yang terkait dengan bisnis waralaba, seperti pemerintah maupun rekan bisnis yang lain. Nama perusahaan pemberi waralaba dapat menjadi faktor yang menunjang keberhasilan penjualan bisnis waralaba. Bonafiditas perusahaan pemberi waralaba akan berpengaruh terhadap eksistensi dan penjualan bisnis waralaba di masa depan. Nama pemberi waralaba biasanya berbeda dengan nama dagang bisnis waralaba. nama pemberi waralaba adalah nama perusahaan yang memiliki bisnis waralaba dan hendak ditawarkan kepada penerima waralaba.

I.             Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee)
Dalam bisnis waralaba dikenal adanya master franchisee atau penerima waralaba utama. Penerima waralaba utama adalah subjek yang menerima hak dari pemberi waralaba untuk membuka dan mengelola bisnis waralaba di suatu wilayah, dan kemudia menjual hak waralaba lanjutan itu kepada penerima waralaba atau calon penerima waralaba lain di dalam lingkup wilayah itu. Penerima waralaba utama bertindak seperti pemberi waralaba khusus untuk suatu wilayah tertentu. Biasanya ia diberi hak untuk membuka gerai usaha waralabanya dan menjual hak waralaba lanjutan dan ia juga memiliki kewajiban dalam membantu kesuksesan para penerima waralaba lanjutan. Dalam perjanjian waralaba umumnya penerima waralaba utama ini diberi target oleh pemberi waralaba. target-target tersebut termasuk dalam mengembangkan jumlah gerai. Di samping itu, penerima waralaba utama itu seringkali juga diberi target untuk memberikan kontribusi pembayaran atas jumlah gerai baru yang harus dibuka di wilayah itu.
Dalam prospektus penawaran waralaba perlu dicantumkan sebuah klausula yang menyatakan bahwa apakah pemberi waralaba merupakan master franchisee atau penerima waralaba utama atau bukan.  Hal ini penting karena terdapat perbedaan prinsipil antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba utama. Pemberi waralaba adalah pemilik merek dagang sekaligus sistem waralaba yang dijual sedangkan penerima waralaba lanjutan tidak memiliki hak atas merek dan sistem waralaba itu selain daripada hak-hak tertentu yang diberikan kepadanya, seperti hak mengembangkan dan mengelola hak waralaba itu di suatu wilayah.

J.            Tanggal pendirian pemberi waralaba
Agar dapat diketahui rekam jejak pemberi waralaba oleh penerima waralaba dan juga pemerintah, tanggal berdirinya perusahaan pemberi waralaba perlu dicantumkan ke dalam prospektus. Tanggal pendirian pemberi waralaba adalah tanggal yang tertulis dalam akta pendirian perusahaan pemberi waralaba. Tanggal pendirian pemberi waralaba tidak harus sama dengan tanggal dimulainya bisnis waralaba. Tanggal berdirinya perusahaan pemberi waralaba seharusnya lebih dahulu daripada tanggal dimulainya bisnis waralaba. Dalam prospektus, tanggal pendirian pemberi waralaba dan tanggal dimulainya unit bisnis waralaba pertama kali perlu dicantumkan untuk menjadi pertimbangan bagi calon penerima waralaba dapat menilai pengalaman pemberi waralaba dalam bidang bisnis itu.

K.           Alamat resmi pemberi waralaba
Alamat resmi pemberi waralaba merupakan salah satu identitas pemberi waralaba yang cukup penting. Alamat resmi dapat menunjukkan eksistensi nyata pemberi waralaba. Kantor pemberi waralaba yang memiliki alamat yang jelas akan dapat memberikan kepercayaan kepada semua pihak. Alamat ini biasanya juga digunakan sebagai alamat korespondensi bisnis di samping penggunaan email yang saat ini sudah lazim. Dengan dicantumkannya alamat resmi di dalam prospektus, dapat menunjukkan bahwa bisnis pemberi waralaba adalah nyata dan ia siap bertanggung-jawab penuh terhadap kesuksesan bisnis waralaba yang ia tawarkan.

L.            Merek Dagang
Merek dagang adalah nama yang diberikan pemberi waralaba kepada bisnis waralabanya. Merek dagang dapat berpengaruh sangat besar dalam menunjang kesuksesan bisnis waralaba. Merek dagang berperang penting sebagai pembeda dengan merek-merek lainnya. Merek dagang harus didaftarkan kepada negara agar dapat secara sah digunakan oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba. Merek dagang dapat mencerminkan reputasi perusahaan. Merek dagang yang sudah dikenal keberhasilannya, akan membuka peluang bagi kemudahan dalam hal pemasaran waralaba.

N.           Bidang Usaha Pemberi Waralaba
Berbagai bidang dapat digeluti dalam bisnis waralaba, dari bisnis kuliner hingga bengkel mobil. Bidang-bidang usaha dalam bisnis waralaba semakin beraneka-ragam. Semakin beragamnya bidang usaha waralaba membuat masyarakat yang tertarik menekuni bisnis waralaba semakin dimudahkan untuk memilih bisnis waralaba yang paling ia minati. Prospektus penawaran waralaba harus dapat menjelaskan kepada calon penerima waralaba tentang bidang usaha pemberi waralaba dengan baik sehingga penerima waralaba dapat mengetahui dengan jelas tentang jenis usaha yang akan ia beli.

O.           Tentang bisnis penerima waralaba
Di muka telah dijelaskan tentang perlunya mencantumkan tanggal pendirian perusahaan pemberi waralaba. Dalam prospektus perlu pula dijelaskan kapan pemberi waralaba telah membuka gerai waralabanya untuk pertama kalinya. Tidak kalah pentingnya untuk secara jujur memberikan informasi tentang nama-nama serta alamat para penerima waralaba yang telah bergabung dengan bisnis pemberi waralaba dan nama-nama penerima waralaba yang telah keluar dari bisnis waralaba ini. Hal tersebut dapat menjadi bahan antisipasi oleh penerima waralaba agar dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebelum memutuskan untuk membeli bisnis waralaba yang ditawarkan. Apabila bisnis waralaba yang ditawarkan adalah bisnis yang baru dibuat maka tuliskan dalam prospektus bahwa pada saat itu belum ada penerima waralaba yang telah bergabung ataupun keluar dari bisnis waralaba yang ditawarkan itu.  

P.           Pengalaman bisnis pemberi waralaba
Mengelola bisnis waralaba diperlukan pengalaman yang cukup. Apabila suatu bisnis telah cukup matang sistemnya dan memiliki merek dagang yang memiliki reputasi baik, maka mungkin bisnis tersebut telah dapat diduplikasikan dan dipasarkan sebagai bisnis waralaba. Pengalaman di bidang bisnis tertentu dengan segala macam tantangan yang telah berhasil di atasi oleh suatu usaha dapat menjadi bekal yang berharga dalam membangun unit usaha yang dapat diwaralabakan. Pengalaman bisnis pemberi waralaba perlu diinformasikan dalam prospektus penawaran waralaba. Pengalaman tersebut dapat menjadi acuan bagi calon penerima waralaba untuk mempelajari potensi keberhasilan waralaba yang ia minati tersebut.


Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (I)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (I)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Advokat adalah profesi yang multitasking, seorang advokat saat ini tidak hanya berfungsi sebagai pembela atau ahli hukum yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar pengadilan saja, akan tetapi dapat juga bertindak sebagai mediator, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mediator adalah perantara (penghubung, penengah).[1] Sedangkan menurut Christopher W. Moore, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, mediator bukan bagian dari salah satu pihak, mediator bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Tugasnya adalah membantu pihak-pihak yang bersengketa agar secara sukarela bersedia mencapai kesepakatan yang diterima oleh masing-masing.[2]

Bersama dengan profesi hakim, advokat seringkali diharapkan dapat mengisi fungsi sebagai mediator karena keduanya dikategorikan profil yang mampu memahami dan menerapkan hukum serta dianggap sebagai sosok yang dapat menjamin pemenuhan keadilan bagi pihak yang bersengketa. Berdasarkan undang-undang tidak hanya hakim dan advokat saja yang dapat bertindak sebagai mediator. Para ahli hukum lain yang berprofesi sebagai dosen juga dapat menjadi mediator, bahkan ahli-ahli selain hukum seperti ahli ekonomi, perbankan, pertambangan dan sebagainya juga diizinkan menjadi mediator.

Latar belakang profesi tentu memengaruhi kinerja seorang mediator dalam menengahi suatu sengketa. Keberhasilan sebuah mediasi sangat ditentukan oleh kemampuan individual mediator itu. Oleh karena itu bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman terkait bidang objek yang dipersengketakan dapat menjadi faktor utama suksesnya proses mediasi bersama dengan keterampilan teknik mediasi itu sendiri.
Beberapa pihak ada yang menganggap bahwa mediator terbaik adalah mereka yang memiliki latar belakang sebagai hakim atau mantan hakim. Mereka dilihat sebagai sosok yang paling arif dan bijaksana, tidak memihak, serta bebas kepentingan. Terlepas dari sistem yang ada dan kecenderungan tidak banyak berubahnya pola penyelesaian perkara di lingkungan peradilan, para hakimlah yang saat ini paling banyak ditunjuk sebagai mediator di pengadilan. Perlu diselidiki lebih lanjut mengenai penyebab para pihak yang berperkara sebagian besar hanya menunjuk hakim pengadilan yang bersangkutan untuk menyelesaikan perkaranya. Ataukah hanya karena tidak diperlukan biaya atas penunjukan itu, atau ada alasan lain yang lebih substansial misalnya karena reputasi hakim yang ditunjuk tersebut diakui karena sering berhasil mendamaikan pihak yang bersengketa.

Profesi hakim yang lekat dengan sifat-sifat seperti kebijaksanaan, kejujuran, keadilan dan sifat-sifat mulia lainnya itu wajar kiranya dijadikan sebagai model panutan bagi para mediator yang berasal dari latar belakang profesi atau keahlian lain. Hakim sebagai profil yang disegani membawa nilai-nilai positif dalam jabatan yang disandangnya. Terdapat sebuah pertanyaan menggelitik terkait hakim sebagai mediator ini: apakah hakim merasa tidak turun pamornya ketika ia seharusnya berposisi sebagai wakil Tuhan untuk memutus perkara akan tetapi dalam proses mediasi ia tidak lebih selain hanya bertindak sebagai penengah saja yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari pihak yang bersengketa?

Selain para hakim seharusnya ahli-ahli senior seperti para guru besar baik di lingkungan ilmu hukum maupun ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi dan bisnis dapat dipromosikan untuk menjadi mediator yang unggul. Para ulama, kyai, ustadz, pendeta dan pemuka-pemuka agama yang lain serta tokoh-tokoh masyarakat/daerah juga berpotensi untuk menjadi mediator-mediator handal baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di pundak merekalah sebenarnya puncak ilmu dan kebijaksanaan tersandang.

Selang beberapa tahun pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, perkembangan mediasi sebagai upaya yang penting dalam penyelesaian sengketa mulai diarusutamakan. Organisasi-organisasi mediator pun bermunculan setelah itu, beberapa diantaranya adalah Pusat Mediasi Nasional (PMN), Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), Badan Mediasi Indonesia (BaMi), Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) dan lain-lain. Organisasi-organisasi mediator itu saat ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya naungan dari induk organisasi yang mewadahi mereka. Tercatat ada 1229 orang mediator yang terdaftar di PMN dengan latar belakang keahlian yang beraneka ragam. Ada praktisi perbankan, auditor, ahli keuangan, akuntan, praktisi properti, asuransi, advokat dan lain sebagainya.[3]

Sebagai profesi yang independen, advokat di satu sisi tampak diuntungkan dengan mengemukanya profesi mediator, dengan terbukanya peluang untuk berperan ganda memegang kartu advokat sekaligus memiliki lisensi mediator. Hal tersebut dipandang secara ekonomi dapat menjanjikan peluang penghasilan yang baru. Namun ada juga di antara advokat yang menganggap mediator sebagai ancaman terhadap stabilitas profesi advokat, sebab apabila banyak perkara yang diselesaikan dengan jalur mediasi maka akan membuat advokat tidak lagi dapat menjalankan fungsinya lebih besar dari sebelumnya karena sebagian besar pekerjaan mereka diambil alih oleh mediator yang berlatar belakang dari berbagai bidang itu.

Saat ini telah mulai banyak advokat yang tertarik dengan mediasi dan telah mencoba mendapatkan lisensi sebagai mediator yang disahkan Mahkamah Agung. Secara berkala organisasi-organisasi mediasi mengadakan pelatihan bagi calon mediator itu sehingga diharapkan hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicu bagi perkembangan mediasi karena mediator-mediator baru selalu lahir seiring dengan dukungan pengalaman dan kualitas yang dimiliki para mediator yang juga berkembang.

Terkait dengan latar belakang mediator yang berpengaruh terhadap kinerjanya dalam menengahi sengketa, Iswahyudi A. Karim, menilai bahwa peran advokat sebagai mediator saat ini payah. Menurutnya hal itu disebabkan sejak di fakultas hukum para calon advokat dididik dan selama praktek advokat terbiasa dengan pola pikir mencari keadilan (ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah); bukan mencari solusi sana senang sini senang.[4] Pola pikir semacam itu tentu saja tidak dapat digeneralisasi terhadap semua advokat-mediator. Seorang advokat yang menjalankan tugas sebagai mediator wajib memerankan fungsinya tersebut dan mengesampingkan profesi advokatnya selama proses mediasi perkara berlangsung. Seiring dengan bertambahnya ilmu, keterampilan dan pengalaman seorang advokat yang menjadi mediator akan meningkat pula kemahirannya dalam bermediasi dan menghasilkan solusi yang adil dan berkualitas bagi pihak yang bersengketa. Advokat sangat diperlukan untuk memajukan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Dengan menjadi mediator, advokat dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kuantitas dan kualitas yang tidak dapat diremehkan. Bila sebagian besar advokat tertarik untuk menjadi mediator, maka akan menambah jumlah mediator di Indonesia secara signifikan dan dapat membantu Mahkamah Agung mengatasi jumlah penumpukan perkara. Advokat dapat ikut mempopulerkan sarana mediasi tersebut dengan mendorong sengketa untuk diselesaikan secara damai dengan musyawarah sehingga menghasilkan keputusan yang sama-sama memenangkan pihak-pihak yang bersengketa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam masyarakat Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan bekerja sama gotong-royong untuk meraih kepentingan bersama yang lebih besar.

Beberapa waktu lalu muncul kabar baik dari Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT) Sri Mamudji. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2005 sekitar 20% perkara perdata yang masuk ke pengadilan telah diselesaikan dengan mediasi. Bahkan hingga tahun 2013 prosentasenya terus mengalami peningkatan. Menurutnya beberapa negara maju seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa lain prosentase penyelesaian sengketa dengan mediasi sangat tinggi yaitu berkisar antara 60-80%. Sebagian besar mereka bermediasi dengan menggunakan mediator independen yang berpraktik di luar pengadilan dan bukan dengan mediator yang terdaftar di pengadilan. Hal itu menunjukan tren positif terhadap kemungkinan perkembangan mediasi di masa depan di Indonesia dan seluruh dunia. Salah satu peluang bagi advokat untuk memasuki profesi sebagai mediator ialah kelangkaan jumlah mediator yang ada saat ini. kelangkaan itu sendiri dinilai sangat menghambat perkembangan profesi mediator. Menurut Sri Mamudji lambatnya perkembangan profesi mediator antara lain karena sedikitnya jumlah mediator bersertifikat yang diakui Mahkamah Agung (MA). Hingga Mei 2013, baru 1.500 mediator non-hakim yang bersertifikat dan sekitar 500 hakim dari 8.000 hakim di seluruh Indonesia memiliki sertifikat sebagai mediator.[5] Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para advokat Indonesia.

Mohammad Noor (Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Mediasi MA), menilai ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan mediasi yaitu itikad tidak baik dari para pihak, peran kuasa hukum, dan penjelasan majelis pemeriksa perkara yang tidak optimal sehingga mengakibatkan para pihak tidak memahami proses mediasi. Perma No. 1 Tahun 2016 ini menekankan adanya itikad baik para pihak untuk menunjang keberhasilan proses mediasi. Menurutnya ide besar Perma yang baru itu adalah agar proses mediasi dilaksanakan dengan dilandasi oleh itikad baik dari para pihak.[6] Bila kita melihat para pihak yang terdapat dalam proses mediasi itu, terbuka peluang bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam mediasi adalah advokat. Para pihak yang bersengketa yang diwakili oleh kuasa hukumnya yang seorang advokat dan juga mediator yang juga memiliki latar belakang sebagai advokat. Proses itu dapat terjadi baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Apabila proses mediasi itu dilaksanakan dengan itikad baik maka terbuka adanya solusi yang memenangkan para pihak. Akan tetapi bila dilandasi dengan itikad tidak baik dari para pihak tersebut dapat ditebak mediasi akan sulit memperoleh perdamaian. Beberapa pihak memandang skeptis terhadap peran advokat yang mewakili kliennya dalam proses mediasi. Mereka melihat bahwa advokat tidak mungkin memberikan langkah kontributif terhadap penyelesaian sengketa kliennya melalui mediasi di pengadilan. Sehingga dalam proses mediasi advokat seringkali ditolak baik untuk mewakili atau mendampingi kliennya. Hal itu menunjukkan bahwa adanya itikad baik dan pemahaman yang sama tentang mediasi harus mereka miliki.




[1] http://kbbi.web.id/mediator, 16/04/2017
[2]Pengertian Mediasi, diakses dari http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html, 16/04/2017
[3] Mediators, diakses dari http://pmn.or.id/pmn/mediators/, 18/04/2017
[4] www.karimsyah.com/imagescontent/article/20050725100707.ppt, 16/04/2017
[5] http://dev.republika.co.id/berita/koran/605564, 16/04/2017
[6]Perma Mediasi 2016 Tekankan Pada Itikad Baik, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik, 16/04/2017

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (II)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (II)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A.        Sejarah Perkembangan Mediasi
Teknik mediasi sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa telah berkembang sejak lama baik di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) maupun Timur seperti Jepang dan China. Setidaknya Terdapat dua hal yang menjadi latar belakang lahirnya penyelesaian sengketa alternatif tersebut, yaitu karena alasan praktis dan alasan faktor kebudayaan mereka. Alasan praktis karena di negara-negara tersebut pengadilan juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang mendasar. Kelemahan-kelemahan itu adalah memakan waktu yang lama, berbiaya mahal dan merenggangkan hubungan pihak yang bersengketa. Selain itu di beberapa negara pengadilan dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah sehingga ia tidak independen, tidak bersih dan putusan-putusannya memihak/tidak adil. Faktor kebudayaan seperti yang terjadi di Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Demikian pula di China telah lama mengenal mediasi yang sejalan dengan kultur masyarakat china yang tidak suka pada pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Alasan-alasan kebudayaan tersebut menyebabkan masyarakat mengesampingkan pengadilan karena anggapan bahwa pengadilan adalah tempat bagi orang-orang yang tidak patuh hukum.[1]

Di AS penyelesaian sengketa alternatif telah dimulai sejak tahun 1960-an yang dipicu oleh efek negatif litigasi. Hingga sekarang perkembangan alternatif penyelesaian sengketa di AS berlangsung pesat karena didukung oleh masyarakat dan lembaga peradilan formal. pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS dilatar-belakangi oleh kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:
1.    Untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan
2.    Meningkatkan keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
3.    Untuk memperlancar serta memperluas akses keadilan
4. Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang   menghasilkan kepuasan yang dapat diterima dan memuaskan semua pihak. [2]

Pancasila sebagai dasar filosofi  masyarakat Indonesia telah memberikan petunjuk asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, demikian juga UUD 1945. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 4 menyatakan, "Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan" selanjutnya Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa "ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian". Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 akan tetapi undang-undang tersebut juga memiliki kelemahan karena tidak mengatur secara lengkap bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali tentang arbitrase.[3]

Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia dan Amerika Serikat mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah tradisi dari masyarakat Indonesia, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa Amerika Serikat didesain untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan. Saat ini penyelesaian sengketa ADR di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan karena sesuai dengan budaya bangsa dan menguntungkan para pihak.[4]

B.        Mediasi dan Advokat
Terdapat sebuah ketentuan yang mengesahkan dilakukannya mediasi di Indonesia yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: ”Dalam hal sengketa atau beda pendapat setelah diadakan pertemuan langsung oleh para pihak (negosiasi) dalam 14 (empat belas) hari juga tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.” Ketentuan tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa hanya sengketa atau beda pendapat yang dilakukan di pengadilan saja yang dapat diselesaikan dengan bantuan penasihat ahli atau mediator, akan tetapi sengketa-sengketa di luar pengadilan juga dapat meminta bantuan pihak ketiga yang netral tersebut. 

Banyak definisi tentang mediasi, salah satunya berasal dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. MAPPI menyatakan bahwa secara umum, mediasi merupakan suatu bentuk dari Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Menurut MAPPI Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat dan murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan.[5] Definisi tentang mediator salah satunya dimuat dalam jaringan artikata.com, menyebutkan dua buah batasan sebagai berikut:
1.  a negotiator who acts as a link between parties
2. one who mediates; especially, one who interposes between parties at                          variance for the purpose of reconciling them; hence, an intercessor.[6]
Batasan tersebut menunjukkan bahwa seorang mediator adalah seorang negosiator yang bertindak sebagai penghubung di antara para pihak yang bersengketa. Mediator bertindak sebagai penengah bagi para pihak yang bersengketa menjadi perantara agar terjadi perdamaian di antara mereka.

Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menyelami sebuah profesi kombinasi, yaitu mediator yang juga sekaligus sebagai advokat. Bahwa pada suatu perkara seorang advokat dapat menjalankan tugasnya sebagai advokat yang berpihak pada kepentingan kliennya dan pada perkara lain ia berperan sebagai seorang mediator yang netral. Lebih jauh penulis ingin melihat praktik realitas mediator-advokat saat ini di Indonesia dan apa yang bisa dikembangkan di masa depan.

Istilah advokat berasal dari bahasa latin yaitu advocare, artinya to defend (mempertahankan), to call to ones said (memanggil seseorang untuk mengatakan sesuatu), to vouch or to warrant (menjamin). Dalam bahasa Inggris, pengertian advokat diungkapakan dengan kata advocate, yang berarti: to defend by argument (mempertahankan dengan argumentasi), to support (mendukung), indicate or recommend publicly (menandai adanya atau merekomendasikan di depan umum). Sedangkan dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.[7] Undang-Undang Advokat tersebut juga tidak melarang seorang advokat untuk juga memiliki lisensi sebagai mediator.[8]

C. Mediasi sebagai Bagian Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mediasi merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Menurut Priyatna Abdurrasyid, APS dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.[9] Salah satu motivasi APS adalah pemberdayaan individu atau dapat dikatakan bahwa motivasi pemanfaatan APS  sebagai prinsip pemecahan masalah dengan bekerja-sama. Menurut Priyatna Abdurrasid ada dua alasan yang mendasari APS dikatakan dapat mencapai hasil yang lebih baik daripada sistem pengadilan yaitu yang pertama, jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang tatacara/prosedur khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah. Kedua, mediasi dan bentuk APS lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan sehingga menurut Abdurrasyid APS tidak dapat lagi disebut cara penyelesaian perselisihan yang bersifat alternatif.[10]

Abdurrasyid menyebutkan bahwa negosiasi merupakan mekanisme utama dan diberi prioritas dalam alternatif penyelesaian sengketa. Negosiasi merupakan cara individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka sehari-hari. Negosiasi adaah proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan.[11]

Lebih lanjut Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independen untuk bertindak sebagai mediator-penengah, akan tetapi tidak diberi wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat. Mediasi dilakukan dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik dan keterampilan membantu para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan. Mediator juga merupakan seorang fasilitator yang dalam beberapa bentuk mediasi memberikan evaluasi yang tidak mengikat mengenai nilai perselisihan jika diperlukan, tetapi tidak diberi wewenang membuat keputusan yang mengikat.[12]

3. Ketertarikan Advokat untuk Menjadi Mediator

Profesi advokat saat ini berkembang dengan sangat pesat baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas advokat saat ini semakin banyak dengan dilantiknya sekitar lima-ribuan advokat setiap tahunnya oleh organisasi advokat. Secara kualitas saat ini banyak advokat yang sudah tidak lagi bercorak generalis. Mereka telah mengembangkan ilmu dan keterampilan mereka ke bidang-bidang kekhususan tertentu. Hal itu menjadi salah satu aspek pembeda di antara mereka dengan advokat-advokat lain untuk menunjang kesuksesan mereka. Tuntutan pengembangan kualitas advokat itu antara lain terjadi disebabkan oleh perkembangan bisnis internasional, persaingan antara advokat, serta minat dan idealisme advokat itu sendiri. Banyak advokat yang fokus di bidang pasar modal, asuransi, pertambangan, perbankan, kepailitan, hukum keluarga, pertanahan, tenaga kerja dan lain sebagainya. Sehingga mereka menjadi terbiasa dan ahli menangani perkara-perkara spesifik terkait dengan fokusnya tersebut. Dengan modal besar itu, advokat dapat menjadi elemen penting bagi dinamika proses mediasi di Indonesia.

Terkait dengan hal di atas, ada beberapa permasalahan yang relevan saat ini mengemuka yaitu: apakah para advokat saat ini memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang mediator? adakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mendorong advokat Indonesia agar melihat mediasi sebagai sarana utama dalam menyelesaikan sengketa di dalam maupun di luar pengadilan? Masihkah para advokat menilai mediator sebagai pesaing yang berpotensi merebut lahan pekerjaan mereka ataukah sebagai  mitra? Bagaimanakah dinamika dan peran advokat berlisensi mediator dalam menjalankan tugasnya dalam bidang mediasi saat ini dan bagaimana proyeksi masa depan peran kombinasi profesi advokat-mediator itu dalam proses-proses mediasi di Indonesia?




[1] https://abdulhakimsiagian.files.wordpress.com/2014/11/alternatif.pdf, 18/04/2017
[2] ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-mediasi-definisi-menurut.html, 16/04/2017
[6] https://www.artikata.com/arti-114946-mediator.html, 16/04/2017
[7] http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-advokat-menurut-bahasa-dan.html, 16/04/2017
[8] Aturan Benturan Kepentingan Mediator yang Berprofesi Advokat, diakses darihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3529/aturan-benturan-kepentingan-mediator-yang-berprofesi-advokat, 16/04/2017
[9] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm 17
[10] ibid
[11] ibid
[12] ibid
[13] Peran Advokat Menyelesaikan Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan, diakses dari http://www.kompasiana.com/van-elkindy/peran-advokat-menyelesaikan-sengketa-melalui-mediasi-di-pengadilan, 16/04/2017

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator dan Prospeknya di Indonesia (III)

Realitas Praktik Advokat sebagai Mediator
 dan Prospeknya di Indonesia (III)

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

A.        Pancasila
Dasar filosofi ADR adalah Pancasila, asas musyawarah untuk mencapai mufakat. Filosofi Pancasila merupakan refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertian mendasar dan menyeluruh. Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh Bapak Bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam suatu sistem. Pancasila menjadi pedoman dalam sikap, tingkah laku dan sehari-hari dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi bangsa yang berisi nilai-nilai berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa dan cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara tercantum secara yuridis konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum.[1]

Pancasila sebagai dasar negara menghendaki terwujudnya cita-cita pendiri bangsa Indonesia. Berikut adalah sila-sila dalam Pancasila dan falsafahnya:
1.         Ketuhanan Yang Maha Esa
            Adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Bangsa Indonesia adalah bangsa religius, bukan bangsa yang ateis. Pengakuan terhadap Tuhan diwujudkan dengan perbuatan taat pada perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya sesuai dengan ajaran atau tuntunan agama yang dianutnya. Negara mengakui kebebasan memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminasi antar umat beragama.

2.         Kemanusiaan yang adil dan beradab
            Kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Manusia perlu diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya dan sama hak dan kewajiban asasinya. Berdasarkan nilai ini, secara mutlak ada pengakuan terhadap hak asasi manusia.
3.         Persatuan Indonesia
            Usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Adanya perbedaan bukan sebagai sebab perselisihan tetapi justru dapat menciptakan kebersamaan. Kesadaran ini tercipta dengan baik bila sesanti ”Bhinneka Tunggal Ika” sungguh-sungguh dihayati.

4.         Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam            permusyawaratan/perwakilan
            Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Berdasarkan nilai ini, diakui paham demokrasi yang lebih mengutamakan pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat

5.         Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
            Mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah maupun batiniah. Berdasar pada nilai ini, keadilan adalah nilai yang amat mendasar yang diharapkan oleh seluruh bangsa. Negara Indonesia yang diharapkan adalah negara Indonesia yang berkeadilan.[2]

Dengan Pancasila sebagai falsafah ADR maka ADR memiliki dasar yang kuat dan jelas baik secara kultural maupun praktis.

B. Advokat Mediator
Advokat-mediator dapat memberikan modal berharga untuk mendapatkan akses keadilan yang sesuai dengan budaya dan kebutuhan masyarakat. Arti penting advokat agar didorong untuk memiliki keterampilan dan lisensi mediator adalah karena advokat memiliki potensi yang menjanjikan baik secara kualitas maupun kuantitas. Advokat-mediator dapat membantu beban pengadilan dengan menghindari penyelesaian sengketa melalui litigasi yang dikenal lambat, berlarut-larut dan menghabiskan sumber daya, waktu dan pikiran itu. Di samping itu advokat-mediator juga dapat berperan lebih besar dalam menangani sengketa di luar pengadilan.

Advokat adalah profesi independen yang memiliki potensi untuk memajukan penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi atau penyelesaian sengketa alternatif, akan tetapi juga dapat menjadi faktor penghambat kesuksesan perkembangan mediasi itu sendiri. Mediasi menginginkan tercapainya perdamaian, sedangkan pola pikir advokat selama ini adalah ingin mendapatkan pemenuhan keadilan sehingga perspektif advokat yang berdasarkan pada benar dan salah itu dapat resisten terhadap proses mediasi.

Apabila di kantor-kantor hukum di Indonesia juga dikembangkan penyelesaian sengketa alternatif dan dapat dipasarkannya kepada masyarakat, maka Mahkamah Agung sangat terbantu karena mengurangi tumpukan perkara kasasi dan peninjauan kembali yang ada. Di samping tentu saja banyak manfaat-manfaat lain yang akan dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan antara lain seperti akan banyak tercapainya perdamaian, tidak menumbuhkan kebencian di antara pihak yang bersengketa, biaya yang terjangkau, proses yang mudah, melibatkan para pihak secara aktif, proses berlangsung cepat dan hasil yang memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat.




[1] Pancasila; Sistem Filsafat dan Ideologi Negara, diakses dari http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/1-Makna-Filosofis-Sila-Pancasila.pdf, 19/04/2017
[2] ibid

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...