Rabu, 13 Februari 2019

Sekilas tentang Pengadilan Agama Wonosobo

Sekilas tentang Pengadilan Agama Wonosobo
Editor: Arif Rudi Setiyawan

Pengadilan Agama Wonosobo sejak awal berdirinya yaitu dari tahun 1950 hingga 1980, menempati serambi Masjid Al-Mansur di Kauman Utara Wonosobo. Setelah itu mulai menempati gedung di Jl Argopeni No 11 Wonosobo pada tahun 1980 hingga tahun 2004. Saat ini Pengadilan Agama Wonosobo telah menempati gedung baru yang megah di timur kota Wonosobo di Jl Mayjen Bambang Sugeng, tidak jauh dari Rumah Sakit Islam Wonosobo.

Sebagaimana pengadilan agama pada umumnya, Pengadilan agama Wonosobo bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang: perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, ekonomi syariah; memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta dan memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal serta penentuan arah kiblat dan waktu sholat serta tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan undang-undang (Pasal 49 dan 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama).

Berikut adalah ruang lingkup kewenangan Pengadilan Agama Wonosobo:
A
Perkawinan

1.
Izin beristri lebih dari seorang

2.
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat

3.
Dispensasi kawin

4.
Pencagahan perkawinan

5.
Penolakan perkawinan  oleh PPN

6.
Pembatalan perkawinan

7.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri

8.
Perceraian karena talak

9.
Gugatan perceraian

10.
Penyelesaian harta bersama

11.
Penguasaan anak-anak

12.
Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung-jawab tidak mematuhinya

13.
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri

14.
Putusan tentang sah tidaknya seorang anak

15.
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua

16.
Pencabutan kekuasaan wali

17.
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut

18.
Penunjukan wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur (18 tahun) yang ditinggal orang tuanya

19.
Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya

20.
Penetapan asal-usul dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam

21.
Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran

22.
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain

B.
Waris

1.
Penentuan orang-orang yang menjadi ahli waris

2.
Penentuan harta peninggalan

3.
Penentuan bagian masing-masing ahli waris

4.
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan

C.
Ekonomi Syariah

1.
Bank Syariah

2.
Lembaga keuangan mikro syariah

3.
Asuransi syariah

4.
Reasuransi syariah

5.
Reksa dana syariah

6.
Obligasi syariah dan surat berharga

7.
Sekuritas syariah

8.
Pembayaran syariah

9.
Pengadaan syariah

10.
Dana pensiun lembaga keuangan syariah

11.
Bisnis syariah

Suaramerdeka.com memberitakan bahwa kasus perceraian di Wonosobo terhitung tinggi. Pada tahun 2018 tercatat angka perceraian sebanyak 2.298 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2.278 kasus. Disinyalir tingginya angka perceraian tersebut disebabkan karena faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan masyarakat. Selain kasus perceraian tersebut, pada 2018 Pengadilan Agama Wonosobo juga menerima permohonan dispensasi nikah kepada calon pengantin di bawah umur sebanyak 139 kasus.

Menurut Pengadilan Agama Wonosobo, solusi untuk menekan laju perceraian adalah dengan menguatkan pendidikan tentang keluarga kepada pasangan yang akan melakukan pernikahan.

Sumber:
https://www.suaramerdeka.com/news/baca/159292/kasus-perceraian-di-wonosobo-capai-2298-kasus
www.pa-wonosobo.go.id/tentang -pengadilan/profil-pengadilan/sejarah-pengadilan
www.pa-cimahi.go.id/tentang-pengadilan/kekuasaan-dan-ruang-lingkup-pengadilan-agama

Senin, 11 Februari 2019

Sosialiasi E-Court di Pengadilan Agama Wonosobo

Sosialiasi E-Court di Pengadilan Agama Wonosobo
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Pada tangal 16 Januari 2019, Pengadilan Agama Wonosobo menyelenggarakan Sosialisasi e-court. Para peserta diperkenalkan tentang aplikasi e-court yang sudah mulai diterapkan di lingkungan Pengadilan Agama Wonosobo. Penerapan e-court ini berdasar pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018.

Berikut adalah definisi dan pengertian e-court yang telah disosialisasikan oleh Pengadilan Agama Wonosobo dan sebagaimana tercantum dalam Buku Panduan e-court dari Mahkamah Agung Republik Indonesia cq Pengadilan Agama Wonosobo 2018:

e-Court adalah sebuah instrumen pengadilan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online, pembayaran secara online, mengirim dokumen persidangan (Replik, Duplik, Kesimpulan, Jawaban) dan pemanggilan secara online. Aplikasi e-court perkara diharapkan mampu meningkatkan pelayanan dalam fungsinya menerima pendaftaran perkara secara online di mana masyarakat akan menghemat waktu dan biaya saat melakukan pendaftaran perkara.

Ruang lingkup aplikasi e-court adalah sebagai berikut:
A. Pendaftaran Perkara Online
Pendaftaran perkara online dalam aplikasi e-court untuk saat ini baru dibuka jenis pendaftaran untuk perkara gugatan dan akan terus berkembang. Pendaftaran perkara gugatan di pengadilan adalah jenis perkara yang didaftaran di peradilan umum, peradilan agama dan peradilan TUN yang dalam pendaftarannya memerlikan effort atau usaha yang lebih, dan hal ini lah yang menjadi alasan untuk membuat e-court salah satunya adalah kemudahan berusaha.

Keuntungan pendaftaran perkara secara online melalui aplikasi ini adalah:
1. Menghemat waktu dan biaya dalam proses pendaftaran perkara
2. Pembayaran biaya panjar yang dapat dilakukan dalam saluran multi chanel atau dari berbagai metode pembayaran bank
3. dokumen terarsip secara baik dan dapat diakses dari berbagai lokasi dan media
4. proses temu kembali data yang lebih cepat

B. Pembayaran Panjar Biaya Online (e-SKUM)
Dalam pendaftaran perkara, pengguna terdaftar akan langsung mendapatkan SKUM yang digenerate secara elektronik oleh aplikasi e-court. Dalam proses generate tersebut sudah akan dihitung berdasarkan komponen biaya apa saja yang telah ditetapkan dan dikonfigurasi oleh pengadilan, dan besaran biaya radius yang juga ditetapkan oleh ketua pengadilan sehingga perhitungan taksiran biaya panjar sudah diperhitungkan sedemikian rupa dan menghasilkan elektronik SKUM atau e-SKUM.

C. Dokumen Persidangan
Aplikasi e-court juga mendukung dalam hal pengiriman dokumen persidangan seperti replik, duplik, kesimpulan dan atau jawaban secara elektronik yang dapat diakses oleh pengadilan dan para pihak.

D. Pemanggilan Elektronik (e-Summons)
Sesuai dengan Perma Nomor 3 Tahun 2018 bahwa pemanggilan yang pendaftarannya dilakukan dengan menggunakan e-court, maka pemanggilan kepada pengguna terdaftar dilakukan secara elektronik yang dikirimkan ke alamat domisili elektronik pengguna terdaftar. Akan tetapi untuk pihak tergugat untuk pemanggilan pertama dilakukan dengan manual dan pada saat tergugat hadir pada persidangan yang pertama akan diminta persetujuan apakah setuju dipanggil secara elektronik atau tidak, jika setuju maka pihak tergugat akan dipanggil secara elektronik sesuai dengan domisili elektronik yang diberikan dan apabila tidak disetujui pemanggilan dilakukan secara manual seperti biasa.


Demikian adalah definisi dan pengertian e-court yang telah dipaparkan dalam buku panduan e-court Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Negeri Wonosobo juga melengkapi sosialisasinya dengan bimbingan teknis yang dilakukan beberapa waktu setelah acara tersebut. Bimbingan teknis e-court diberikan kepada  anggota Asosiasi Advokat Wonosobo (AAW) pada tanggal 01 Februari 2019.

Memohon Penetapan Persamaan Nama di Pengadilan Negeri

Memohon Penetapan Persamaan Nama di Pengadilan Negeri
Oleh: Arif Rudi Setiyawan

Dalam kasus paspor hilang dan sekaligus ada perbedaan nama dalam paspor yang hilang, pemohon sering kali merasa kebingungan dan kesulitan untuk mengurus dan mendapatkan paspornya. Untuk memperbarui paspor, pemohon akan diminta mengikuti serangkaian proses di kantor imigrasi dan pada gilirannya dimintai surat penetapan dari pengadilan yang pada pokoknya menetapkan bahwa nama pemohon yang terdapat dalam paspor dengan berkas-berkas pendukung lainnya adalah orang yang sama dan satu orang (Permohonan Penetapan Persamaan Nama).   

Tentu ada sebab-sebab khusus terkait dengan administrasi dan kelalaian lain yang mengakibatkan terjadinya perbedaan identitas antara paspor dengan dokumen pendukung, di mana hal itu akan menghambat pemohon untuk memperpanjang atau membuat paspor barunya.  

Berdasarkan prosedur yang berlaku, permohonan penetapan persamaan nama yang diminta oleh kantor imigrasi, ditujukan di pengadilan negeri di mana pemohon berdomisili. Pemohon dapat mengajukan sendiri permohonannya atau diwakilkan orang yang ia tunjuk dengan surat kuasa yang sah, atau menunjuk seorang advokat untuk mengurus permohonannya itu. Bila mengurus sendiri permohonan ke pengadilan, karena tidak memiliki pengalaman dalam proses pengadilan, terkadang pemohon akan merasa kebingungan dan kerepotan dengan mekanisme yang harus ditempuh di pengadilan.

Berikut adalah langkah-langkah umum dalam mengajukan permohonan penetapan persamaan nama di pengadilan negeri:

Pertama, buatlah surat permohonan penetapan persamaan nama yang ditujukan kepada kepala pengadilan negeri setempat.

Pemohon bisa merancang sendiri permohonannya dengan mencontoh format surat permohonan sejenis yang bisa dilihat dengan melakukan penjelajahan di internet. Jangan lupa cantumkan dalam permohonan itu identitas asli dan alamat pemohon.  Bila merasa kesulitan, pemohon dapat mendatangi pos bantuan hukum di pengadilan negeri untuk membantu merancang surat permohonan.

Di dalam permohonan, uraikanlah latar belakang diajukannya permohonan itu secara rinci sehingga akan mudah dipahami. Sampaikan dengan jelas bahwa pemohon meminta agar hakim mengabulkan permohonannya: bahwa nama pemohon yang sesuai dengan KTP dan surat-surat lainnya adalah orangnya sama dan satu orang dengan nama yang terdapat dalam paspor yang hilang dan berbeda identitas (nama) tersebut.

Kemudian lengkapi permohonan dengan melampirkan bukti surat-surat antara lain foto kopi kutipan akta kelahiran, foto kopi kartu keluarga, foto kopi paspor dan foto kopi surat keterangan beda nama dari kepala desa atau kelurahan dan dokumen pendukung lain yang relevan. Khusus surat keterangan dari kepala desa/kelurahan ini, sebelum mengajukan permohonan ke pengadilan mintalah surat tersebut kepada kepala desa atau lurah di mana pemohon berdomisili. Pada saat memohon surat kepada kepala kelurahan atau kepala desa paling tidak bawalah serta KTP dan Kartu Keluarga pemohon dan sampaikan alasan-alasannya bahwa surat tersebut akan digunakan sebagai tambahan keterangan atau bukti permohonan penetapan persamaan nama di pengadilan untuk keperluan mengurus paspor yang baru.

Kemudian yang tak kalah penting adalah mempersiapkan saksi-saksi. Persiapkanlah minimal dua orang saksi. Para saksi hendaknya adalah orang yang paling mengerti tentang perkara tersebut yang biasanya adalah orang tua, saudara atau teman pemohon.

Setelah itu datanglah ke pengadilan dengan membawa dokumen yang lengkap untuk didaftarkan. Pengadilan akan memeriksa kelengkapan surat dan akan memanggil pemohon untuk menghadiri persidangan biasanya satu minggu setelah pendaftaran. Pada saat sidang pertama bawalah bukti-bukti surat asli berupa KTP, Kartu Keluarga, Surat Keterangan dari kelurahan dan dokumen-dokumen asli lainnya yang tersebut dalam surat permohonan. Pada sidang itu juga sekaligus persiapkan pula minimal dua orang saksi untuk ikut datang menghadap pengadilan untuk dimintai keterangannya oleh hakim. Apabila tidak ada kekurangan bukti yang lain hakim akan memberikan putusan berupa penetapan pada hari itu juga. Akan tetapi apabila masih ada bukti yang dirasa kurang, maka pemohon akan diberi waktu untuk melengkapinya dan membawanya dipersidangan berikutnya untuk diberikan penetapan.  Penetapan itu lah yang dibawa ke kantor imigrasi untuk melanjutkan proses pembuatan paspor dengan identitas yang benar.

Kekeliruan administrasi dan kelalaian-kelalaian lainnya pada kenyataannya memang terjadi di masa lalu dan masih mungkin ada di masa depan. Semakin profesionalnya kantor imigrasi dan kebijaksanan hakim diharapkan dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan akan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.  

Minggu, 10 Februari 2019

Hukum Profesi Advokat dalam Tinjauan Abu Ubaidah Yusuf (I)

Hukum Profesi Advokat dalam Tinjauan Abu Ubaidah Yusuf (I)
Editor: Arif Rudi Setiyawan
Advokat/Pengacara Tinggal di Wonosobo

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi memberikan tinjauannya terhadap kebolehan profesi advokat menurut Islam, sebuah profesi yang akrab juga disebut dengan istilah pengacara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengaitkan tinjauan Abu Ubaidah tersebut dengan Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia.

Abu Ubaidah memulai tinjauannya dengan menekankan bahwa syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan paripurna, di dalamnya sudah terdapat segala hal yang dibutuhkan termasuk adanya konsep yang jelas tentang pengadilan, di mana profesi advokat mendapat tempat.

Abu Ubaidah mendefinisikan advokat sebagai orang yang melakukan atau memberikan nasihat dan pembelaan atau mewakili orang lain atau klien untuk menyelesaian suatu kasus hukum. Atau dengan kata lain advokat adalah profesi hukum yang berperan dalam suatu persengketaan yang  diselesaikan di dalam atau pun di luar sidang pengadilan.

Undang-Undang Advokat Indonesia sendiri menyatakan bahwa advokat sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat. Sedangkan menurut undang-undang, jasa hukum adalah jasa yang diberikan oleh advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Sementara itu, Kode Etik Advokat Indonesia (Kode Etik) memberikan definisi bahwa advokat Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Di tengah-tengah masyarakat terkadang muncul keraguan tentang boleh atau tidaknya seseorang menjalani profesi sebagai advokat itu khususnya untuk tampil di persidangan. Terhadap keraguan tersebut Abu Ubaidah menyimpulkan bahwa adanya pengacara dalam persidangan diperbolehkan, hal itu ia dasarkan dari dalil-dalil yang ada di al-Quran, hadits, ijma dan akal. Berikut adalah dalil-dalil yang disampaikan oleh Abu Ubaidah tersebut:

1. Dalil Al-Qur’an
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. an-Nisa’ 41:105)

Abu Ubaidah menegaskan bahwa dalam ayat tersebut melarang menjadi advokat yang batil, bertindak sebagai advokat diperbolehkan hanya bila dalam kebenaran.

2. Dalil Hadist
Dari Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Abu ‘Amr menceraikannya tiga cerai dari kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)

Menurut Abu Ubaidah, hadits ini menunjukkan bolehnya mengutus perwakilan dalam persengketaan (advokat), karena Fathimah melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, hal itu menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.

3. Dalil Ijma
Abu Ubaidah mencatat bahwa secara global, tidak ada pendapat yang saling bertentangan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya. Bahkan, secara khusus sebagian ulama telah menukil adanya ijma dalam masalah ini. Abu Ubaidah menulis bahwa As-Sarokhsi (490H) berkata, “Perwakilan dalam pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya pengingkaran dari siapa pun.” Ia melanjutkan bahwa As-Sumnani (499 H) pernah menjelaskan tentang hal ini, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hal itu menurutnya juga telah dilakukan oleh orang-orang di berbagai negara."

4. Dalil Akal
Abu Ubaidah mengatakan bahwa seseorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat baik membela atau membantah maka sangat sesuai jika syariat membolehkannya.
Dari dalil-dalil yang telah ia kemukakan tersebut, Abu Ubaidah meyakini kebolehan profesi advokat, apabila digunakan untuk membela kebenaran dan menolong orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji maupun tidak.

Sementara itu terkait kebolehan adanya profesi advokat, berdasarkan Undang-Undang Advokat Indonesia, bahwa untuk kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri, maka profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab diperlukan keberadaannya. Hal itu diperlukan untuk mewujudkan peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Jadi berdasarkan undang-undang, Indonesia bukan hanya memperbolehkan keberadaan profesi advokat, akan tetapi lebih dari itu advokat menduduki peran yang sangat diperlukan dan begitu penting.

Abu Ubaidah mengutip Lajnah Da'imah (komite fatwa) Arab Saudi yang pernah ditanya tentang hukum profesi advokat. Komite Fatwa menjawab bahwa apabila seseorang berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan karena termasuk tolong-menolong dalam kebaikan. Dan sebaliknya, apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk tolong-menolong dalam dosa. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolonglah dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. (QS. al-Ma’idah [5] : 2).

Abu Ubaidah meyakini bahwa keberadaan profesi pengacara atau advokat itu sudah ada sejak lama, sekalipun tidak selalu ada dalam setiap persidangan. Salah satunya adalah adanya bukti tertulis yang dikatakan oleh as-Sumnani rahimahullah (499 H). Dalam kitabnya khususnya pada bab tentang advokat dan kewajiban menunjukkan bahwa profesi advokat sudah ada sejak lama. Bahkan disebutkan dalam sebuah kitab biografi ada seseorang yang dikenal sebagai pengacara  profesional seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrohim rahimahullah (346H).

Terkait dengan gaji atau honorarium profesi advokat, Abu Ubaidah mendasarkan pendapatnya dari dalil sebagai berikut:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus- pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan unluk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. at-Taubah [19]: 6o)

Abu Ubaidah mengatakan bahwa dalam ayat tersebut terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seseorang untuk mengambil zakat dan membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut. Beliau menyimpulkan bahwa bila amil zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Undang-Undang advokat sendiri menyatakan bahwa advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya, dan besarnya honorarium atas jasa hukum itu ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Kode Etik Advokat mendukung pernyataan itu bahwa dalam melakukan tugasnya advokat tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.

Sumber:
Kode Etik Advokat Indonesia
Undang-Undang Advokat

Fakta Pengadilan Agama Wonosobo (I)

Penyelesaian Konflik Agraria

Penyelesaian Konflik Agraria Konflik agraria sering terjadi akibat tumpang tindih kepemilikan atau penggunaan lahan antara masya...